PELANGI DI LANGIT SINGASARI (1)
Karya : SH Mintarja
Pertemuan dengan Ken Arok
Hari itu Mahisa Agni dan gurunya, Mpu Purwa
sedang dalam perjalanan pulang. Lambat-lambat mereka maju terus menyusur
dataran sebelah timur Gunung Kawi, menuju ke rumah mereka di Desa Panawijen.
Mpu Purwa mempunyai seorang putri yang cantik, yang bernama Ken Dedes. Ken
Dedes lahir ketika Mpu Purwa belum menjadi pendeta.
“Mahisa Agni,” kembali orang tua berambut
putih itu berbicara.
“Ya, Bapa Pendeta,” sahut pemuda yang
bernama Mahisa Agni itu.
“Kita akan kemalaman di perjalanan,” sambung
pendeta tua itu. “Tak apalah. Kalau kita berjalan terus, sebelum tengah malam
kita akan sampai,” sahut Mahisa Agni.
“Kau tidak lelah?” bertanya pendeta itu
kembali.
“Tidak,
Bapa,” cepat-cepat Mahisa Agni menjawab.
“Bagus,” sahut Empu Purwa, “kakimu telah
cukup terlatih. Bagaimana dengan pernafasanmu?”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tampaklah senyumnya menghiasi bibirnya yang tebal. Tetapi senyum itu tibatiba lenyap seperti asap ditiup angin.Ketika ia
memandang ke depan, dilihatnya padang rumput Karautan. Mahisa Agni mengerutkan
keningnya. Agaknya padang rumput yang di sana-sini diselingi oleh
gerumbul-gerumbul itulah yang telah mempengaruhi pikiran gurunya.
Agaknya gurunya pun tanggap pada pertanyaan
muridnya, sehingga dari sela-sela bibirnya terdengar ia berkata, “Itulah padang
rumput Karautan. Padang rumput yang terkenal sepi. Dijauhi oleh setiap orang
yang menempuh perjalanan. Mereka lebih suka melingkar agak jauh. Lewat
Pedukuhan Talrampak atau Desa Kaligeneng.”
“Kau
percaya kepada hantu?” terdengar Empu Purwa bertanya pula.
“Entahlah,” Mahisa Agni tersenyum. Dan
gurunya tersenyum pula.
“Aku terlalu sering mendengar cerita tentang
hantu di padang rumput Karautan,” berkata Mahisa Agni.
“Apakah kau bermaksud supaya kita mengambil
jalan melingkar?” bertanya gurunya.
“Tidak Guru,” cepat-cepat Mahisa Agni
menyahut menyambut. Ia memang tidak takut. Bahkan ia ingin melihat hantu itu.
Karena itu ia meneruskan, “Aku ingin membuktikannya.”
“Apa yang pernah kau dengar tentang hantu
itu?” bertanya gurunya pula.
“Hantu itu suka mengganggu. Bahkan memiliki
sifat-sifat kejam dan bengis. Beberapa orang pernah menjadi korban,” jawab
Mahisa Agni.
“Banyak orang yang mati oleh hantu itu.
Begitu saja?” sela Empu Purwa.
“Tidak. Kadang-kadang orang yang berani
lewat dalam rombongan-rombongan besar menemukan korban-korban itu dalam keadaan
telanjang. Darahnya kering dihisap oleh hantu itu,” sahut Mahisa Agni.
“Cerita itu memang mengerikan. Dan apa yang
sering terjadi di padang rumput itu pun memang benar-benar mengerikan. Namun tidak
seperti yang kau dengar,” potong gurunya.
“Apakah yang pernah Bapa Guru ketahui
tentang hantu itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Marilah kita lihat,” jawab Empu Purwa,
“yang aku dengar pun terlalu mengerikan.”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Meskipun
ia tidak takut, namun perasaan yang aneh menjalari hatinya. Tetapi, ketika ia melihat
gurunya berjalan dengan tetap dan tenang, langkahnya pun menjadi tenang pula. Ketika
seekor kelinci meloncat dari semak-semak di depan mereka, Mahisa Agni terkejut.
Kemudian ia tersenyum sendiri. Dirabanya dadanya yang berdebar-debar.
“Apakah aku sudah menjadi seorang penakut?”
pikirnya.
Tanpa sengaja diingatnya cerita Ken Dedes
yang didengarnya dari kawan-kawannya. Hantu itu mirip seperti manusia. Gagah tegap.
Wajahnya sama sekali tak menakutkan. Bahkan seseorang
pernah melihatnya di bawah sinar obor yang
dibawanya. Wajah itu tampan meskipun kotor. Mahisa Agni terkejut ketika
tiba-tiba gurunya berhenti. Ia pun segera berhenti pula. Diikutinya arah
pandang mata pendeta tua itu. Dan kemudian perlahan-lahan terdengar Empu Purwa berkata dengan ramahnya, “Nah Ki Sanak. Aku sudah
mengira kalau kau menunggu kedatanganku.”
Mahisa Agni masih belum melihat seorang pun.
Namun telinganya yang tajam kemudian mendengar pula gemerisik daundaun di dalam
semak-semak di samping mereka. Dan kemudian
terdengarlah dengus kasar dan sebuah
bayangan meloncat dengan cepatnya, seperti petir yang berlari di langit. Sesaat
kemudian bayangan itu telah berdiri di hadapan mereka.
Dada Mahisa Agni bergetar cepat sekali.
Hantu itu bukan sekedar cerita untuk menakut-nakuti gadis seperti Ken Dedes
saja namun kini benar-benar telah berdiri di hadapannya. Tiba-tiba hatinya menjadi
berdebar-debar kembali. Apalagi kemudian ketika didengarnya hantu itu tertawa.
Ketika suara itu kemudian lenyap, terdengarlah hantu itu berkata, “Kau sudah
tahu kalau aku akan menghadangmu?”
“Hantu itu dapat berbicara seperti manusia,”
pikir Mahisa Agni.
“Ya, Ki Sanak,” terdengar gurunya menjawab.
“Dan kau sengaja menemui aku?” bertanya
hantu itu pula.
“Ada
keperluanmu menemui aku?”
“Ada,”
sahut Empu Purwa, “sekadar singgah di padang rumputmu ini. Aku sedang menempuh
perjalanan pulang dari Tumapel.”
“Katakan keperluanmu!” potong hantu itu.
“Ada
beberapa pertanyaan untukmu Ki Sanak,” sahut Empu Purwa. Suaranya tetap renyah
dan ramah.
“Jangan berbicara lagi! Berjongkok dan aku
isap tengkukmu sampai kau mati,” hantu itu berteriak semakin keras.
Adalah di luar dugaan Mahisa Agni kalau
tiba-tiba Empu Purwa menjawab, “Kalau demikian kehendakmu, apa boleh buat.”
Kemudian kepada Mahisa Agni gurunya itu
berkata, “Agni, adalah sudah menjadi kebiasaan hantu-hantu pengisap darah,
mengisap korbannya lewat luka di tengkuknya yang ditimbulkan oleh gigi-gigi hantu
itu. Kalau hantu ini akan menggigit tengkukku dan kemudian mengisap darahku,
aku tak akan melawannya. Karena itu lihatlah dengan seksama, bagaimana caranya
melubangi tengkukku.”
Empu Purwa tidak menunggu jawaban. Segera ia
berlutut di hadapan hantu itu sambil menundukkan kepalanya.
“Apa yang akan kau lakukan?” bentaknya.
“Memenuhi perintahmu. Berjongkok dan kau
akan mengisap darahku,” jawab Empu Purwa.
Hantu itu menjadi bingung. Matanya tiba-tiba
bertambah liar. Kemudian katanya berteriak, “Bagus. Kau juga anak muda. Berjongkoklah
dan tundukkan kepalamu.”
“Biarlah ia hidup,” potong Empu Purwa.
“Biarlah ia menjadi saksi bahwa hantu di padang rumput Karautan telah melubangi
tengkukku dengan giginya, kemudian minum darahku dari lubang itu pula.”
Terdengarlah gigi hantu itu gemeretak. Ia
telah benar-benar menjadi marah. Kemudian katanya, “Tidak peduli apa yang kau ketahui
tentang diriku. Sebab sesaat lagi kau berdua akan mati di padang rumput ini.”
Bersamaan dengan kata-katanya itu, tiba-tiba
Mahisa Agni melihat benda yang berkilat-kilat di tangan hantu itu, yang ditariknya
dari pinggangnya.
“Pisau?” desis hatinya, “Adakah hantu
memerlukan sebuah pisau untuk membunuh seseorang? Bukankah guru berkata kalau
hantu melubangi tengkuk korbannya dengan giginya?”
Otak Mahisa Agni adalah otak yang cerah.
Karena itu segera ia tanggap atas sasmita gurunya. Demikian ia melihat hantu
itu mengayunkan pisaunya, segera ia meloncat menyerang secepat
tatit.
Hantu itu terkejut melihat serangan Mahisa
Agni yang demikian cepat dan dahsyat.
Karena itu ia tidak sempat menancapkan pisau itu di tengkuk orang tua yang
berjongkok di hadapannya. Beberapa langkah ia meloncat mundur. Dengan
merendahkan diri, hantu itu berhasil membebaskan diri dari serangan Mahisa
Agni. Bahkan segera hantu itu pun telah siap menghadapi setiap kemungkinan yang
bakal datang.
Mahisa Agni tidak mau membuang waktu lagi.
Demikian serangannya yang pertama gagal, segera ia mempersiapkan diri untuk
mengulangi serangannya pula. Namun, sebelum ia meloncat maju, hantu itu telah
menyerangnya pula. Serangannya cepat dan berbahaya. Bahkan terasa betapa kuat
tenaganya. Satu kakinya terjulur ke depan sedangkan kedua tangannya seperti
akan menerkamnya.
Untunglah bahwa Mahisa Agni itu murid Empu
Purwa. Apa yang telah dipelajari dan didalaminya sampai kini, benar-benar merupakan
bekal yang cukup baginya. Karena itu, ketika serangan hantu itu tiba, Mahisa
Agni segera menghindar dengan cepatnya. Menarik satu kakinya ke belakang dan
mencondongkan tubuhnya. Hantu itu seperti terbang beberapa cengkang di
hadapannya. Dengan cepatnya Mahisa Agni mempergunakan kesempatan itu.
Tangan kirinya segera terayun deras sekali
ke arah tengkuk lawannya. Terasa pukulannya mengena. Mahisa Agni mempergunakan
sebagian besar tenaganya. Maka lawannya segera
terdorong ke depan dan jatuh tersungkur di
tanah.
Namun
benarbenar mengherankan. Segera tubuh itu berguling-guling untuk kemudian
melenting bangun. Sesaat kemudian hantu itu telah berdiri tegak di atas kedua
kakinya. Bahkan segera pula ia melontar maju dengan tangan dan jari-jari yang
mengembang, seperti hendak meremas muka Mahisa Agni.
Mahisa Agni adalah anak muda yang cukup
terlatih. Pengetahuannya tentang tata beladiri cukup baik. Bahkan beberapa pengetahuan
dari perguruan lain pun banyak diketahuinya pula.
Tetapi ia belum pernah menyaksikan cara
bertempur seperti yang dilakukan hantu ini. Cepat, kuat, namun kasarnya bukan
main. Bahkan seakan-akan hantu itu bertempur tanpa aturan apa pun yang
mengikatnya. Ia menyerang dan melawan dengan cara yang tak berketentuan. Tetapi
satu kenyataan, pukulannya yang tepat mengenai tengkuk hantu itu seakan-akan
tak berbekas. Kulit hantu itu benar-benar seperti berlapis batu.
Meskipun demikian Mahisa Agni tidak segera
menjadi cemas. Pikirnya, “Asal aku dapat merabanya seperti kulit daging manusia
biasa.” Memang Mahisa Agni pernah mendengar cerita bahwa tubuh hantu tak akan
dapat disentuh tangan. Tetapi kali ini ia telah dapat menyentuh dan merasakan
sentuhan itu. Bahkan hantu itu pun jatuh tersungkur terdorong oleh tenaganya.
Karena itu hatinya menjadi semakin besar. Dan sejalan dengan itu, ia bertempur
semakin sengit. Hantu itu masih bertempur dengan kasarnya. Seperti angin pusaran
ia membelit kemudian menghantam dari segala arah. Kadang-kadang pukulannya sama
sekali tak terarah, demikian saja meluncur dengan derasnya seperti batu
meluncur dari tangan.
Namun sekali hantu itu jatuh tersungkur,
sekali ia meloncat bangkit. Sepuluh kali ia terguling di tanah, sepuluh kali ia
melenting berdiri. Semakin lama Mahisa Agni menjadi semakin heran. Ia telah hampir
mengerahkan segenap tenaganya. Namun hantu itu masih saja melayaninya dengan
caranya yang khusus. Mula-mula anggapannya tentang hantu itu telah hampir
larut,
sejak ia melihat pisau di tangan lawannya
itu. Tetapi kenyataan yang dihadapinya telah menimbulkan keraguan pula.
Empu Purwa sudah tidak berjongkok lagi. Ia
berdiri tegak mengawasi muridnya yang lagi bertempur. Ia melihat betapa Mahisa Agni
dengan lancar mempergunakan ilmu yang telah diturunkannya kepada anak muda itu.
Sekali-kali orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya namun sekali-kali
tampak ia mengerutkan keningnya. Lawan muridnya itu benar-benar aneh. Ia
melihat dengan pasti, tangan muridnya telah menyentuh tubuh lawannya, namun
lawannya itu benar-benar seperti kebal, kalis dari segala macam bahaya yang
menimpanya.
Mahisa Agni masih bertempur dengan
sengitnya. Hantu padangrumput itu menyerang membabi-buta. Semakin lama semakin
kasar. Bukan saja Mahisa Agni yang menjadi bingung, bagaimana menyelesaikan
pertempuran itu, bahkan Empu Purwa pun beberapa kali menarik nafas dalam-dalam.
Muridnya memiliki tenaga yang kuat seperti seekor banteng. Namun tenaga
muridnya itu seakanakan tak berarti. Tiba-tiba Empu Purwa mengerutkan
keningnya. Empu Purwa yang tua itu melihat bayangan cahaya yang kemerah-merahan
di atas kepala hantu padang Karautan itu.
Samar-samar namun jelas baginya. Jelas bagi
orang setua pendeta itu. Pendeta yang telah masak dalam berbagai ilmu lahir
batin, yang kasatmata dan tidak kasatmata. Namun pendeta itu yakin bahwa muridnya
pasti tak dapat melihatnya. Karena itu Empu Purwa menjadi gelisah.
Sekali-sekali ia menarik nafas panjang. Empu Purwa melihat bayangan warna merah
itu dengan cemas. Ia masih memerlukan beberapa saat untuk meyakinkannya. Dan akhirnya,
sekali lagi pendeta tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Dari mulutnya terdengar ia berdesis,
“Brahma. Hem, aneh. Kenapa Dewa Brahma membiarkan anak itu menjadi hantu di
padang rumput ini? Tidak adakah pekerjaan yang lebih baik daripada
menyamun, membunuh, dan memerkosa?” Kembali
ia memandangi warna merah di ubun-ubun lawan muridnya. Warna itu masih ada. Bahkan
semakin jelas baginya.
“Menurut pendengaranku, beberapa orang
menyatakan bahwa warna itu adalah ciri keturunan Brahma,” sambungnya.
Tiba-tiba pendeta tua teringat pada
pusakanya. Sebuah trisula. Amat kecil dan berwarna kuning. Yang pertama-tama
menemukan trisula itu adalah Empu Wikan. Seorang Empu Sakti yang bertapa di
kaki bukit Semeru. Ketika Empu Wikan mendengar guruh meledak di malam
hening maka timbullah kecurigaan di dalam
hatinya. Maka dengan hati yang berdebar-debar dipanjatnya tebing Gunung Semeru.
Dari kejauhan ia masih melihat sinar yang memancar tegak sebesar lidi jantan
menusuk langit. Ketika ia mendekati sinar itu terasa betapa panasnya, Empu
sakti itu pun harus bersemedi. Dalam semedinya terdengar suara gemuruh di atas
kepalanya. Berkata suara itu, “Empu Wikan yang bijaksana, yang dijauhi oleh
segala bencana di sekitarnya. Apabila sinar itu nanti lenyap, datanglah ke
titik tegaknya di bumi. Kau akan menemukan sebuah trisula sebagai tanda
kebesaran Siwa. Aku hadiahkan trisula itu kepadamu sebagai tanda kebesaran
namamu. Simpanlah pusaka itu dan serahkanlah turun-temurun kepada murid-murid
terkasih. Tetapi ingat Empu Wikan, pusaka itu sama sekali bukan alat pembunuh.
Tetapi ia akan dapat memengaruhi hati musuh yang bagaimana pun saktinya.”
BERSAMBUNG
selanjutnya
BERSAMBUNG
selanjutnya
Komentar
Posting Komentar