PELANGI DI LANGIT SINGASARI ( 2 )
Karya : SH Mintarja
KEN AROK
Akhirnya Empu Purwa kasihan juga melihat muridnya. Tandangnya sudah
mulai susut. Peluh telah membalut seluruh tubuhnya dilekati debu yang
dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki mereka yang bergulat antara hidup dan mati
itu.
“Agni, kau tak akan mampu mengalahkannya,” pikir pendeta tua itu.
Karena itu maka segera ia harus menolongnya. Membebaskan muridnya dari libatan
lawannya yang keras dan kasar.
Lawan muridnya itu, ketika melihat Empu Purwa mendekati mereka, berkata
dengan parau, “Ayo, kau yang tua sekali. Majulah bersama-sama. Selama kau masih
belum mampu menangkap angin, selama itu kau jangan mengharap lepas dari padang
rumput ini.”
“Agni,” berkata Empu Purwa tanpa menjawab kata-kata hantu itu, “Lepaskan lawanmu!”
Mahisa Agni heran mendengar tegur gurunya. Meskipun demikian, Mahisa
Agni tidak berani menolak perintah itu. Dengan satu loncatan panjang ia
melepaskan lawannya.
“Jangan lari!” terdengar kembali suara hantu itu. Suara parau dan
kasar.
“Ia tak akan lari,” sahut Empu Purwa, “tetapi ia tak akan melawanmu
dengan cara demikian.”
“Pakailah senjata!” teriak hantu padang Karautan itu.
“Aku akan memberinya senjata,” sahut Empu Purwa.
“Jangan banyak bicara. Berikan sekarang. Kemudian aku akan segera
membunuhnya,” lagi-lagi hantu itu berteriak.
Perlahan-lahan Empu Purwa menarik trisula dari dalam sarung kecilnya,
berwarna kuning berkilauan.
“Agni,” katanya, “pergunakan trisula ini. Tetapi ingat, jangan kau
tusukkan ke tubuhnya. Pengaruhi saja perasaannya dengan senjata itu.”
“Gila!” potong lawan Agni, “Kau berkata demikian sengaja supaya aku
mendengarnya. Tusukkan ke tubuhku. Aku tak akan mati.”
Tetapi tiba-tiba suara terhenti. Trisula itu di mata hantu seakanakan
cahaya yang menyilaukan matanya. Karena itu ia berteriak, “Kalian curang.
Sekarang kalian yang tidak berlaku adil. Kalian bertempur dengan alat untuk
menyilaukan mataku.”
Empu Purwa menarik nafas. Ia sendiri tidak tahu, kenapa lawan muridnya
itu menjadi silau sedangkan muridnya sendiri tidak. Demikianlah agaknya khasiat
trisula itu meskipun kali ini harus berhadapan dengan kekasih Brahma.
Maka terdengar jawaban pendeta tua itu, “Senjata itu sama sekali tak
menyilaukan mataku dan mata anakku. Kenapa kau menjadi silau?”
“Senjata itu agaknya kau peroleh dari setan-setan yang mempunyai daya
seperti tenung,” bantah lawan Agni dengan kasarnya. “Sekarang kau akan
menenungku.”
“Seandainya senjata itu aku terima dari setan-setan, bukankah hantu
dapat melawan setan-setan. Sebab hantu dan setan mempunyai persamaan tabiat. Keduanya
tidak mau mendengar ayam jantan berkokok,” sahut Empu Purwa.
Hantu padang rumput itu menggeram keras sekali. Ia tidak mau berbicara
lagi. Dengan satu loncatan panjang ia menyerang Empu Purwa. Meskipun serangan
itu datangnya tiba-tiba sekali namun Empu Purwa dengan cepat dapat
menghindarkan diri. Mahisa Agni pun tidak tinggal diam. Segera ia meloncat
menyerang hantu padang rumput. Dan kembali terjadi perkelahian yang sengit
antara hantu berpisau dan Mahisa Agni dengan trisula di tangan. Meskipun demikian
Mahisa Agni sama sekali tidak tahu apakah gunanya senjata itu apabila sama
sekali tidak boleh ditusukkan ke tubuh lawannya. Namun ia tidak berani
melanggar pantangan itu. Tetapi terasa suatu keanehan terjadi atas lawannya
itu. Tiba-tiba ia tidak segarang semula. Berkali-kali lawannya terpaksa
meloncat menjauhi dan kadang-kadang tangannya terpaksa melindungi matanya.
Mahisa Agni menjadi heran. Agaknya lawannya itu benar-benar menjadi silau.
“Inilah khasiat trisula ini,” pikir Mahisa Agni. Dengan demikian ia
dapat mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Digerakkannya trisula itu
melingkar-lingkar seperti kemamang yang menari-nari di
udara. Dan lawannya menjadi semakin terdesak.
Hingga akhirnya hantu itu berteriak, “Kalau kau jantan, lepaskan
trisula itu. Aku juga akan melepaskan pisauku.”
“Pisaumu itu tak berarti apa-apa,” sahut Empu Purwa, “Tetapi kau
memiliki tanda-tanda yang aneh di atas kepalamu.”
“Jangan mencari-cari. Pertimbangkan tantanganku,” jawabnya.
Sekali lagi Empu Purwa mendekati mereka. Katanya dengan nada penuh
kedamaian, “Berhentilah berkelahi.”
“Kalian menyerah?” jawab lawan Agni.
Mahisa Agnilah yang menyahut, “Tidak!”
Kembali terdengar suara Empu Purwa, “Berhentilah berkelahi! Dengarkan
kata-kataku!”
Suaranya seakan-akan mengandung suatu wibawa yang agung. Mahisa Agni
adalah muridnya sehingga ia sama sekali tak dapat berbuat lain daripada
menghentikan perkelahian. Tetapi tidak saja
Mahisa Agni yang terpengaruh oleh kata-kata itu, bahkan lawannya pun
tiba-tiba meloncat mundur. Empu Purwa
melangkah semakin dekat di antara kedua lawan itu.
Katanya kemudian, “Ki Sanak, kau memiliki tanda-tanda yang khusus pada
dirimu. Karena itu aku dapat mengenalmu.”
“Aku adalah penjaga padang rumput ini. Sato mara satu mati, jalma mara
jalma mati. “
“Tetapi beberapa orang menemukan korbanmu tanpa mengenakan pakaiannya.
Tanpa ikat pinggang, tanpa uang dan perhiasan,” potong Empu Purwa.
Hantu itu menggeram. Tetapi sebelum ia menjawab Empu Purwa telah
meneruskan kata-katanya, “Jangan menyembunyikannya dirimu. Kau adalah kekasih
dewa-dewa.”
Tampak lawan Mahisa Agni itu mengerutkan keningnya.
“Siapakah namamu Ki Sanak?” desak Empu Purwa.
Hantu yang menakutkan setiap orang itu tiba-tiba menundukkan kepalanya.
Rambutnya yang liar berjuntai di atas bahunya. Tanpa diduga oleh Mahisa Agni
tiba-tiba terdengar mulut hantu itu menjawab, “Namaku Ken Arok.”
Mahisa Agni terkejut mendengar nama itu. Tidak saja Mahisa Agni, tetapi
yang menyebutkan nama itu pun terkejut pula. Dengan lantangnya ia berteriak,
“Jangan ulangi namaku! Dan untuk seterusnya kau tak akan sempat menyebut
namaku. Sebab kalian berdua akan kubunuh malam ini agar Ken Arok tetap tak
dikenal orang.”
“Kau adalah orang buruan,” berkata Agni dengan lantang, “selagi kau
bernama hantu pun aku tidak takut. Apalagi ternyata kau adalah manusia
terkutuk. Bersiaplah, kita bertempur sampai hayat kita menentukan, siapakah di
antara kita yang akan berhasil keluar dari padang rumput ini.”
“Bagus!” teriak hantu yang ternyata bernama Ken Arok itu.
“Berpuluh, bahkan beratus orang, yang telah aku bunuh. Apa artinya
kalian berdua?”
Sesaat kemudian Ken Arok dan Mahisa Agni telah siap untuk bertempur
kembali namun segera Empu Purwa berkata, “Perkelahian di antara kalian tak ada
gunanya. Sebab perkelahian itu tak akan sampai pada ujungnya. Ken Arok memiliki
kelebihan dari manusia biasa sedangkan Agni membawa pusaka yang tak ada duanya
di dunia ini.”
Kemudian kepada Ken Arok, pendeta tua itu berkata, “Arok, apakah kau
dapat berkelahi dengan mata yang silau? Bagaimanakah kalau trisula itu berada
di tanganku, kemudian Agni memukulmu semalam suntuk? Kau tak akan dapat
membalasnya sebab aku akan menggerakkan trisula itu di tentang matamu.”
“Curang!” teriak Ken Arok dengan marah.
“Kau juga curang,” bantah Empu Purwa.
“Kenapa? Hanya karena aku memegang pisau ini? Baiklah. Kalau demikian
pisauku akan aku buang. Kita bertempur tanpa senjata.”
“Bukan,” sahut Empu Purwa, “Bukan karena senjatamu. Tetapi kenapa kau
seolah-olah menjadi kebal?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu benar-benar aneh.
Akhirnya ia menjawab, “Bukan kehendakku. Sejak aku sadar tentang diriku, aku
telah menjadi kebal. Dewa-dewalah yang membuat aku demikian. Bertanyalah kepada
Dewa-dewa. Kalau itu kau anggap kecurangan, Dewalah yang membekali aku dengan
kecurangan itu.”
“Bagus. Dewa pulalah yang memberi aku trisula itu,” sahut Empu Purwa,
“Adakah itu juga suatu kecurangan?”
Ken Arok menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Wajahnya menjadi tegang
dan tangannya yang memegang pisau menjadi gemetar. Tetapi sesaat kemudian
terdengar suara Empu Purwa lunak, “Kemarilah. Duduklah.”
Ken Arok dan Mahisa Agni sama sekali tidak tahu maksud pendeta tua itu.
Karena itu, untuk sesaat mereka berdiri mematung sehingga orang tua itu
mengulangi kata-katanya, “Mahisa Agni dan Ken Arok. Kemarilah! Duduklah!”
Meskipun masih diliputi oleh keragu-raguan namun Mahisa Agni kemudian
duduk di samping gurunya. Ken Arok masih tegak seperti tonggak.
“Kemarilah Arok,” panggil Empu Purwa dengan ramahnya.
Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Ken Arok melangkah dua langkah
maju. Kemudian menjatuhkan dirinya di samping pendeta tua itu.
“Arok,” kata pendeta tua itu, “seharusnya kau sadar dirimu. Siapakah
engkau dan apakah yang akan terjadi atas dirimu. Kau memiliki beberapa
kelebihan dari orang lain tetapi kelebihan itu telah kau salah gunakan.”
Ken Arok tidak segera menjawab. Ditatapnya mata orang tua itu. Di dalam
malam yang gelap, mata itu seakan-akan memancarkan cahaya yang putih bening.
“Ken Arok. Apabila kau sedang berbaring menjelang tidur, tidakkah kau
pernah menghitung berapa orang yang telah menjadi korbanmu? Tidakkah kau pernah
membayangkan, bahwa orang yang menggeletak mati di padang rumput Karautan ini,
atau di tempat-tempat lain yang pernah kau diami, tidak saja menimbulkan
kengerian pada saat-saat matinya, tetapi peristiwa itu juga akan meninggalkan
goresan yang dalam bagi keluarganya? Bagi anakanak dan istri mereka yang
menunggunya di rumah? Tidakkah kau pernah membayangkan bahwa seorang laki-laki
pergi merantau untuk mendapatkan sesuap nasi. Tetapi di jalan pulang laki-laki
itu bertemu dengan seorang anak muda yang bernama Ken Arok. Di rumah
anak-anaknya yang lapar menunggunya. Tetapi laki-laki itu tak akan pernah
pulang.”
Ken Arok belum pernah mendengar seorang pun berkata demikian kepadanya.
Karena itu, maka kata-kata Empu Purwa itu mula-mula asing baginya. Tetapi
kalimat-kalimat itu seperti embun yang menetes dari langit. Perlahan-lahan
daun-daun rumput yang kering menjadi basah pula. Demikianlah kata-kata asing
itu di hati Ken Arok. Meskipun ia belum mengenal seluruhnya, namun terasa bahwa
ada dunia lain dari dunianya yang gelap.
“Ken Arok,” kembali terdengar suara Empu Purwa, “Kau masih muda. Masa
depanmu masih panjang.”
Tiba-tiba Ken Arok menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan diamatinya
tangannya. Tangan yang kotor karena darah dan air mata. Dan kini tangan itu
menjadi gemetar.
“Tak ada jalan lain yang dapat aku tempuh,” terdengar suaranya parau.
Tetapi tidak sekeras semula.
“Banyak,” sahut Empu Purwa.
“Aku telah asing dari hidup manusia wajar. Semua orang menjauhi aku,”
katanya.
“Mereka takut kepadamu. Kepada perbuatan-perbuatanmu,” jawab Empu
Purwa.
Ken Arok menggeleng. Matanya menjadi sayu. Katanya, “Tidak. Sejak aku
lahir di luar kehendakku. Kemudian
menurut kata orang, pada masa aku masih bayi merah, aku dibuang di pekuburan.
Aku dipelihara oleh Bapak Lembong. Seorang pencuri. Salahkah aku kalau aku
kemudian mengikuti cara
hidupnya?”
“Tidak,” sahut Empu Purwa, “Kau tidak bersalah. Tetapi kau akan lebih
berbahagia kalau kau dapat menempuh cara hidup yang lain.”
Ken Arok memandang wajah pendeta tua itu dengan seksama. Kesan wajahnya
telah berubah sama sekali dari semula. Matanya kini sudah tidak liar dan ganas.
Bahkan kini menjadi suram. Sekali lagi ia menggeleng, “Aku tidak tahu apakah
masih ada cara hidup yang lain yang dapat aku jalani. Aku telah dijauhi oleh
sanak-kadang.”
“Jangan risau,” sahut Empu Purwa, “meskipun kau dijauhi oleh sanak-kadang dan handai-taulan, apabila kau
tundukkan kepalamu dan bersujud kepadanya, maka adalah sahabat manusia yang
jauh
lebih berharga dari sanak-kadang, handai, dan taulan.”
“Siapakah dia?” bertanya Ken Arok.
“Yang Maha Agung,” jawab Empu Purwa. Perlahan-lahan namun langsung
menusuk kalbu Ken Arok. Mahisa Agni telah sering mendengar gurunya berkata
demikian kepadanya. Tetapi Ken Arok belum pernah mendengar sebutan itu. Karena
itu ia masih berdiam diri menunggu penjelasan.
“Ken Arok,” Empu Purwa melanjutkan, “meskipun kau hidup sendiri di
dunia ini, namun kau akan berbahagia kalau Yang Maha Agung itu tidak
meninggalkanmu.”
Ken Arok masih berdiam diri. Kata-kata pendeta tua itu belum begitu
jelas baginya. Ia sama sekali tidak kenal kepada Yang Maha Agung itu. Tetapi
dalam kesibukan berpikir, tiba-tiba Ken Arok teringat pada pengalamannya.
Ketika ia dikejar-kejar oleh orang Kemundungan. Ketika ia sudah tidak tahu apa
yang harus dilakukan. Maka memanjatlah ia ke atas sebatang pohon tal. Tetapi
orang-orang yang mengejarnya memotong batangnya. Pada saat itu, pada saat ia
telah kehilangan akal, terdengarlah suara dari langit, “Ken Arok, potonglah dua
helai daun tal. Pakailah sebagai sayap. Dan kau akan
dapat terbang melintasi sungai di bawah pohon tal itu.”
Kemudian, ketika dipotongnya dua pelepah daun tal serta dinaiknya,
seakan-akan ia terbang melintasi sungai. Maka tiba-tiba melontarlah pertanyaan
menusuk benaknya,
“Suara apakah yang telah menyelamatkan aku itu?” Suara itu telah lama
dilupakannya. Bahkan dianggapnya tidak pernah ada. Tetapi suara itu kini
terngiang kembali. Jelas, seperti baru saja diucapkan. Akhirnya sampailah ia
pada kesimpulan. Itulah suara Yang Maha Agung.
Ken Arok terkejut sendiri pada kesimpulan yang ditemukannya. Tiba-tiba
Ken Arok menjadi takut. Takut kepada penemuannya. Pada kesimpulan yang
didapatnya. Kalau benar Yang Maha Agung itu ada maka akan diketahui semua
perbuatannya. Dan dengan suara yang bergetar Ken Arok bertanya meyakinkan,
“Adakah Yang Maha Agung itu kenal kepadaku?”
“Ya,” sahut Empu Purwa, “Yang Maha Agung itu kenal kepadamu, kepadaku,
kepada Agni, dan kepada semua manusia di dunia ini seperti seorang bapa
mengenal anak-anaknya.”
“Tahukah Yang Maha Agung itu atas apa yang pernah dan sedang aku lakukan?” bertanya Ken Arok pula.
“Pasti,” jawab Empu Purwa.
Mendengar jawaban itu Ken Arok menjadi menggigil karenanya. Keringat
dingin mengalir di seluruh wajah kulitnya. Tiba-tiba Mahisa Agni menjadi
terkejut ketika tiba-tiba Ken Arok itu meloncat berdiri. Terdengarlah ia
berteriak, “Bohong! Bohong! Kau akan menakut-nakuti aku?”
Dengan ujung pisaunya ia menunjuk ke wajah Empu Purwa yang masih duduk
dengan tenangnya. Katanya, “Kau ingin melawan aku dengan cara pengecut itu?
Berdirilah bersama-sama. Kita bertempur
sampai binasa.”
Mahisa Agni telah bersiap. Ia akan dapat menyerang Ken Arok dengan satu
loncatan. Tetapi ketika hampir saja ia meloncat menyerang, sekali lagi ia
terkejut. Dilihatnya Ken Arok itu meloncat mundur dan tiba-tiba hantu padang
rumput Karautan itu memutar tubuhnya dan berlari sekencang-kencangnya seperti
kuda lepas dari ikatannya. Sesaat Agni diam mematung. Namun kemudian ia pun
meloncat mengejar hantu yang mengerikan itu. Tetapi tiba-tiba
langkahnya terhenti karena suara gurunya, “Agni! Biarkan ia lari. Kemarilah!”
Sekali lagi Agni tidak dapat memahami tindakan gurunya. Ken Arok adalah
orang buruan yang berbahaya. Apakah orang itu akan dilepaskannya? Tetapi Mahisa
Agni berhenti juga. Dengan wajah
yang tegang karena pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dadanya, ia
berjalan tergesa-gesa mendekati gurunya.
“Bapa,” katanya terbata-bata, “kenapa orang itu kita biarkan pergi?”
Empu Purwa menarik nafas. Perlahan-lahan orang tua itu berdiri.
“Marilah kita lanjutkan perjalanan kita,” berkata orang tua itu.
Seakan-akan ia tak mendengar pertanyaan muridnya, bahkan katanya
kemudian, “Kita tidak akan sampai tengah malam nanti.”
Karena pertanyaannya tidak dijawab, Agni menjadi semakin tidak
puas. Meskipun demikian Mahisa Agni
tidak bertanya-tanya lagi. Agni masih
berjalan di samping gurunya. Dengan matanya yang tajam, ditatapnya padang
rumput yang terbentang di hadapannya. Beberapa tonggak lagi ia masih harus
berjalan.
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar