PELANGI DI LANGIT SINGASARI 6
Seri 1
Sebelumnya
Sebelumnya
“Angger Kuda Sempana,” kemudian
terdengar orang tua itu berkata,
“adakah angger tadi benar-benar bermaksud melarikan Ken Dedes?”
Kuda Sempana menggigit bibirnya.
Ketika terpandang olehnya wajah
Wiraprana yang bengap merah biru, dilihatnya anak muda yang tinggi besar itu
tersenyum sambil mengangguk kecil.
“Persetan!” umpatnya di dalam hati
namun mulutnya terpaksa menyahut,
“Ya, Empu.”
Empu Purwa menarik nafas dan hampir
setiap mulut kemudian mengucap
berbagai kata-kata yang tidak jelas. Tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh
pertanyaan Empu Purwa
kepada Kuda Sempana, “Angger, adakah Angger menyesal?”
Pertanyaan itu benar-benar tak
terduga. Karena itu Kuda Sempana
tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Empu Purwa dengan ragu sSehingga Empu
Purwa yang tua itu mengulangi pertanyaannya,
“Angger, adakah Angger menyesal atas perbuatan itu?”
Pertanyaan itu jelas. Kata demi kata.
Setiap orang tahu maksud pertanyaan
itu. Namun Kuda Sempana masih belum menjawab. Di dalam dadanya timbullah suatu pergolakan
yang riuh. Sudah pasti sama sekali tak dihendakinya apabila orang-orang
sekampungnya akan beramairamai mengeroyoknya
seperti seekor harimau yang tersesat masuk ke kampung. Tetapi untuk
menarik diri terasa bahwa harga dirinya tersentuh. Ia tidak takut mati. Namun
ia masih
ingin menunda kematian itu. Meskipun demikian anak muda yang gagah itu pun tidak
segera menjawab sehingga kemudian kembali
terdengar suara pendeta tua itu, “Angger, aku tahu, betapa berat untuk mengucapkan
kata-kata yang tak pernah terucapkan. Apalagi oleh seorang satria seperti
Angger Kuda Sempana. Karena itu
maka baiklah aku pakai cara seorang tua. Kalau Angger Kuda Sempana menyesal,
sarungkanlah keris angger.”
Kembali keadaan menjadi tegang. Semua
mata terpaku ke tangan
Kuda Sempana yang menggenggam kerisnya erat-erat. Kuda Sempana sendiri pun memandang
tangannya itu. Dan tangan itu menjadi
gemetar. Ketika tangan Kuda Sempana itu bergerak perlahan-lahan maka orang-orang yang terdekat pun
bergeser. Namun semua orang menarik
nafas lega ketika mereka melihat, ujung keris yang gemetar itu manjing ke dalam
wrangkanya.
“Syukurlah”’,berkata Empu Purwa kemudian
sambil menganggukangguk kecil,
“ternyata Angger berjiwa besar.”
Kemudian, pendeta tua itu pun berkata
kepada Buyut Panawijen,“Ki Buyut, marilah persoalan ini kita hadapi dengan jiwa
besar pula. Marilah
semuanya ini kita lupakan.”
Ki Buyut Panawijen mengangguk-angguk
pula. Di dalam hatinya pun
tersimpan perasaan semacam itu. Meskipun di sudut hati itu yang paling dalam melengking
pula pertanyaan, “Adakah Kuda Sempana
itu akan dibiarkan membawa kesalahannya tanpa hukuman apapun?” Namun
terdengar pula jawaban dari sudut yang lain, “Ayah gadis itu tak
menuntutnya. Dan, bukankah anak muda itu pengawal dalam istana Tumapel.”
Akhirnya Buyut Panawijen itu pun
berkata, “Angger Kuda Sempana.
Angger telah berbuat kesalahan. Tetapi untunglah segala sesuatu masih belum
terlanjur. Aku tak dapat menyalahkan Wiraprana dan Angger Mahisa Agni,
bukan karena Wiraprana itu anakku.
Berterima kasihlah Angger Sempana kepada anak-anak muda yang mencegah Angger,
sebelum Angger sempat menyentuh gadis
yang akan Angger larikan, sehingga kebebasan Angger dari setiap hukuman tidak terasa
sebagai pelanggaran yang mutlak atas adat di kampung kita. Namun janganlah
hal ini menjadi contoh. Kalau
Empu Purwa menghendaki, hukuman itu mempunyai alasan yang cukup untuk dijatuhkan.
Tetapi dengan demikian, peristiwa ini akan benar-benar mengganggu
ketenteraman pedukuhan kita. Maka bijaksanalah
Empu Purwa. Meskipun demikian, tak dapat angin lalu tanpa menggoyangkan daun-daun
pepohonan. Karena itu, baiklah aku
minta, sebagai orang yang diserahi tanggung jawab atas pedukuhan ini, agar Angger
Kuda Sempana segera meninggalkan kampung
kita. Jangan kembali sebelum sampai pada bilangan tahun.”
Kuda Sempana yang gagah itu
mengerutkan keningnya. Ia memandang
hampir semua orang yang berdiri di sekelilingnya. Hukuman yang jauh lebih
ringan dari yang diduganya itu tidak juga menyenangkan hatinya. Terasa bahwa
sejak saat itu, ia akan dipisahkan
dari tanah kelahirannya, sedikitnya untuk setahun.
“Persetan tanah kelahiran yang beku
ini!” pikirnya, “Di Tumapel aku mempunyai
lingkungan yang jauh lebih baik dari orang-orang yang bodoh dan keras kepala ini.
Apakah artinya bagiku, bendungan, belumbang,
rumpon, sawah, parit, dan segala macam yang pasti akan menjemukan. Di Tumapel,
aku dapat bermain-main dengan kuda,
tombak, dan kemewahan.”
Tetapi Kuda Sempana memandang Ken Dedes yang masih duduk di
pasir tepian. Terasa hatinya berdesir.
Dan tiba-tiba menyalalah dendam yang membakar hatinya atas kampung halamannya, atas
orang-orang yang melingkungi hidupnya
semasa kanak-kanaknya. Dan dendam itu harus ditumpahkan. Kalau ia tak
dapat memetik bunga dari lereng Gunung Kawi itu maka biarlah bunga itu akan
digugurkan saja dari tangkainya.
Sama sekali ia tidak rela melihat orang lain, apalagi pemuda-pemuda desa seperti
Agni atau Wiraprana, kelak akan memetiknya.
Sekali lagi Kuda Sempana memandangi
setiap wajah itu dengan muaknya.
Kemudian dengan tergesa-gesa ia meloncat pergi meninggalkan mereka dengan
dendam yang membara di dadanya. Sesaat
kemudian Kuda Sempana telah meloncat ke atas punggung kudanya yang sedang
asyik makan rerumputan segar. Namun
ketika terasa sentuhan pada lambungnya, segera kuda yang tegar itu menengadah dan
meloncatlah ia dengan lajunya meninggalkan
tepian sungai itu. Beberapa
orang menarik nafas lega. Mereka seakan merasa terlepas dari bencana.
“Anak yang keras kepala,” desis Ki
Buyut.
Tak seorang pun yang menyahut.
“Marilah kita tinggalkan tempat ini,”
berkata Buyut Panawijen itu pula.
Beberapa orang yang lain pun segera
bergerak mengikuti Buyut Panawijen
itu. Tanpa berkata-kata sepatah pun, mereka mendaki tebing dan hilang di belakang
tanggul.
Yang tinggal kemudian adalah Empu
Purwa, Ken Dedes, Mahisa Agni,
dan Wiraprana. Sedangkan gadis-gadis yang mengintip dari atas tanggul, satu demi satu
menuruni tebing untuk mengambil cucian-cucian
mereka yang tinggal di belumbang. Empu
yang tua dan
bijaksana itu mengeluh di dalam hatinya
Sebenarnya Empu Purwa yang telah cukup banyak
mengenyam pahit manisnyakehidupan, segera dapat mengerti bahwa Kuda Sempana
sama sekali
tidak ikhlas atas keputusan yang diambilnya. Namun perasaan itu sama sekali tak
diungkapnya. Tetapi betapa pendeta tua itu terkejut ketika terdengar
suara Mahisa Agni lirih, “Bapa, adakah Kuda Sempana menerima keputusan ini
dengan jujur?”
Empu Purwa memandang Agni dengan
seksama. Ia pun sadar bahwa
tidak mustahil orang-orang lain pun menyimpan pertanyaan yang demikian di dalam
hatinya. Meskipun demikian ia menjawab, “Angger Kuda Sempana adalah seorang
satria yang berjiwa besar. Seorang
yang demikian akan melihat kenyataan dengan jujur.”
Mahisa Agni kecewa mendengar jawaban
itu. Tetapi ia sadar,bahwa di kampung halamannya, gurunya itu tidak lebih dari
seorang pendeta
yang meluluhkan diri dalam ketekunan beribadah. Di pedukuhan yang tenteram damai
itu, tak seorang pun yang pernah melihat
bahwa Empu Purwa yang tua dan alim itu mampu menggenggam segala macam
senjata di kedua sisi tangannya.Mampu menghantam hancur lawan yang betapa pun
tangguhnya hanya
dengan tangannya. Tetapi masa-masa yang demikian telah lampau bagi pendeta tua itu.
Namun demikian, ia tidak menutup mata
atas suatu kenyataan bahwa kadang-kadang kebenaran harus dibela dengan kemampuan yang
demikian. Kebenaran dan keadilan yang dibenarkan oleh Yang Maha Agung.
Karena itulah maka ia menempa anak
muda yang bernama Agni itu. Semoga anak itu dapat mengamalkan ilmunya. Mengamalkan,
dan bukan sebaliknya.
Pendeta tua itu tersentak ketika
kemudian Wiraprana berkata, “Empu,
aku melihat sesuatu membayang di wajah Kuda Sempana.”
“Apakah itu?” bertanya Empu Purwa.
“Dendam,” jawab Wiraprana.
“Oh,” sahut Empu Purwa, “Tidak.
Jangan berprasangka, Ngger. Tak
baik orang menyimpan dendam di dalam dirinya.”
“Yang menyimpan dendam itu bukan aku,
Empu,” jawab Wiraprana
sambil tersenyum, “tetapi Kuda Sempana.”
“Ya, ya,” potong pendeta itu
cepat-cepat, “maksudku bukan Angger.
Tetapi siapa saja,. semua orang.”
Wiraprana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun wajahnya
masih merah biru namun anak muda itu selalu tersenyum saja. Hanya kadang-kadang
tampak ia menyeringai, kalau nyerinyeri di punggungnya terasa seperti
menyengat-nyengat sampai ke ubun-ubun. Sesaat kemudian Empu Purwa
itu teringat kepada anaknya yang masih
duduk lesu di atas pasir. Dengan lembut orang tua itu berkata sambil menarik lengan
putrinya, “Ken Dedes, marilah kita pun pulang. Ambillah cucianmu.”
Ken Dedes menatap wajah ayahnya.
Wajah seorang yang paling dikasihi
dari semua orang yang dikenalnya.
“Adakah kau sudah selesai dengan
cucianmu?” bertanya ayahnya.
Ken Dedes menggeleng.
“Apakah kau ingin menyelesaikannya,”
bertanya ayahnya pula.
Sekali lagi gadis itu menggeleng.
“Kalau demikian, marilah kita pulang.
Biarlah kau selesaikan di rumah,”
ajak Empu Purwa.
Perlahan-lahan Ken Dedes berdiri dan
berjalan ke belumbang untuk
mengambil cuciannya. Tak berani ia menatap wajah kawan-kawannya yang seakan-akan memandangnya
dengan penuh persoalan. Sesaat
kemudian mereka itu pun pulang bersama-sama. Empu Purwa berjalan membimbing
putrinya. Di perjalanan itu pun mereka tak banyak bercakap-cakap. Mereka sedang asyik bermain-main
dengan angan-angan. Di dalam kepala Mahisa Agni masih saja membayang
wajah Kuda Sempana yang menyala-nyala
liar. Karena itu, mau tidak mau Mahisa Agni harus berpikir, “Bagaimanakah kalau
anak itu datang sebelum waktu yang ditentukan?
Apalagi kalau anak itu datang tidak seorang diri, tetapi dengan beberapa kawannya dari
Tumapel?”
Tetapi kemudian dihiburnya sendiri
hatinya, “Empu Purwa pasti tidak
akan membiarkan anaknya mengalami nasib sedemikian Kalau perlu, perlu sekali, maka
orang tua itu pasti akan membela anaknya. Kalau terpaksa, pasti ia akan
mempertahankan dengan kekerasan pula.”
Demikianlah batin Mahisa Agni menjadi agak tenteram karenanya. Setelah mengantarkan
Wiraprana, Agni pun segera pulang ke rumah gurunya.
Dan sehari itu sama sekali tak
dijumpainya Ken Dedes,
yang kemudian merendam diri di dalam biliknya. Empu Purwa pun tidak
dijumpainya di halaman atau di pendapa. Seorang cantrik berkata kepadanya
bahwa Empu Purwa sedang berada
di sanggarnya. Terasa
sehari-hari rumah itu menjadi sepi. Mahisa Agni berjalan hilir-mudik dengan gelisah.
Sekali dipegangnya senggot timba untuk mengisi jambangan tetapi belum lagi
pekerjaan itu selesai, Mahisa Agni
telah berpindah pekerjaan. Dicobanya melupakan kegelisahan dengan menyiangi
pertamanan di belakang.
Namun pekerjaan ini pun tak menyenangkannya. Akhirnya Mahisa Agni pun menyekap
diri di bilik belakang.
Bilik yang dipergunakannya untuk mesu diri, melatih tubuh wadagnya sejak ia mulai
berguru kepada Empu Purwa itu. Dengan
serta-merta dilepasnya ikat pinggangnya, diikatkan di pinggangnya. Dengan sebuah
loncatan tinggi Mahisa Agni mulai dengan
latihannya. Dilakukannya berbagai gerakan, dari yang paling sederhana sampai yang paling
sulit yang pernah dipelajarinya. Dengan
tangkasnya ia meloncat-loncat seperti kijang. Melingkar, berputar, dan melambung ke
udara. Ketika ia telah menjadi jemu dengan segala gerakan itu, tiba-tiba
di tangannya telah tergenggam sebilah
pedang yang diraihnya dari dinding biliknya. Dengan lincahnya Mahisa Agni
mempermainkan pedangnya. Demikianlah Mahisa Agni melepaskan kejemuan dengan berbagai-bagai
senjata. Pedang, tombak,
cemeti, dan jenis-jenis senjata lain. Sehingga akhirnya Mahisa Agni menjadi lelah.
Demikian lelahnya setelah semalam
ia harus bertempur melawan hantu Karautan, pagi itu, dengan Kuda Sempana dan masa
latihannya berlebih-lebihan, maka akhirnya
Mahisa Agni pun tertidur dengan nyenyaknya.
Betapa mimpi yang aneh-aneh telah
mengganggunya. Dilihatnya di
dalam mimpi itu, Ken Dedes meloncat ke dalam perahu yang megah di sebuah danau yang
tenang. Tetapi tiba-tiba air danau itu pun bergolaklah. Sebuah angin yang
kencang telah mengguncang perahu
yang megah itu sehingga perahu itu bergoyang dengan kerasnya. Ken Dedes yang
berada di dalam perahu itu terlempar dan segera ditelan oleh gelombang
yang ganas. Dan yang terakhir Mahisa
Agni melihat perahu itu tenggelam. Bagaimanapun ia mencoba untuk menolong Ken
Dedes maupun perahunya namun sia-sia.
Bahkan akhirnya dirinya pun terguncang keras-keras. Mahisa Agni terkejut.
Perlahan-lahan ia membuka matanya.
Dilihatnya bilik itu menjadi gelap.
Seorang tua dengan lampu di tangan
berdiri di sampingnya. “Agni,” berkata orang itu, “Apakah kau sedang bermimpi?”
Perlahan-lahan Mahisa Agni bangkit.
Dilihatnya keadaan di sekelilingnya.
Ternyata ia masih berada di dalam biliknya. Sekali ia menggeliat,
kemudian jawabnya, “Ya Guru, sebuah
mimpi yang jelek.”
“Aku sudah menduga. Di dalam tidur
kau menggeram,” sahut gurunya.
Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Syukurlah bahwa semuanya
itu hanya terjadi di dalam mimpi. Namun meskipun demikian mimpi itu sangat
mengganggunya. Sehingga kemudian terluncur
juga dari mulutnya, “Guru, mimpiku menggelisahkan sekali. Adakah setiap mimpi
itu mempunyai arti?”
“Apakah mimpimu itu?” bertanya
gurunya.
Mahisa Agni mencoba untuk
menceritakan mimpinya. Sejak awal sampai
betapa ia meronta-ronta melawan ombak yang menghempas-hempaskannya. Empu Purwa mengerutkan
keningnya. Tampaklah wajahnya menjadi
tegang. Namun kemudian ia tersenyum, katanya, “Waktu mimpimu itu adalah waktu yang
tak membawa arti. Mimpi yang mengandung
makna adalah mimpi pada saat-saat antara ayam jantan berkokok untuk kedua
dan ketiga kalinya. Mimpimu adalah mimpi
seseorang yang terlalu banyak tidur, Agni.”
Mahisa Agni pun tersenyum pula.
Tetapi senyumnya itu pun sama
sekali tidak meyakinkan. Mahisa Agni telah mengenal gurunya baik-baik, sehingga ia tahu
benar tabiat orang tua itu. Meskipun orang tua itu mencoba menghapuskan
kesannya atas mimpi Mahisa Agni,
namun tertangkap juga oleh Mahisa Agni, kegelisahan yang membayang di wajah itu,
meskipun hanya sesaat. Tetapi ia tidak berani bertanya lebih lanjut.
“Agni,” berkata Empu Purwa kemudian,
“bersihkanlah dirimu. Kami
sudah makan malam. Makanlah dahulu, kemudian datanglah kepadaku. Ada yang akan aku
bicarakan.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Gurunya memanggilnya. Pasti
ada sesuatu yang penting. Mahisa
Agni pun kemudian berdiri dan perlahan-lahan berjalan keluar. Panggilan gurunya itu
agak mengganggunya, di samping mimpi
yang menggelisahkan itu.
“Mimpi seseorang yang terlalu banyak
tidur,” gumamnya,
“Mudah-mudahan.” Namun meskipun
demikian Mahisa Agni tak dapat
melupakannya.
Setelah membersihkan diri, Mahisa
Agni segera pergi ke dapur. Dilihatnya
Ken Dedes duduk di atas bale-bale bambu. Ketika dilihatnya ia datang, segera
gadis itu menyapanya, “Kau tertidur di bilik belakang Kakang?”
Mahisa Agni mengangguk. Ditatapnya
wajah gadis itu. Pucat, dan tampak
bendul di kedua pelupuk matanya. Agaknya gadis itu sehariharian menangis di dalam biliknya. Ken Dedes memalingkan
wajahnya. Ia merasa Mahisa Agni memandang
bendul di pelupuk matanya itu. “Apa yang kau tatap itu Kakang? Apakah kau belum
pernah melihat mataku?” katanya sambil
mencoba tersenyum.
“Bukan apa-apa,” jawab Agni. Dan
tiba-tiba saja sikapnya menjadi
canggung. Ia telah berkumpul dengan Ken Dedes dalam satu rumah bertahun-tahun
lamanya. Namun kini terasa gadis itu menjadi asing baginya.
Jilid 2
KARENA MAHISA AGNI masih tegak di
pintu, berkatalah Ken Dedes,
“Apakah kau akan berdiri saja di situ?”
“Oh,” dan Mahisa Agni pun berjalan
memasuki ruangan itu. Dilihatnya
beberapa endang sedang sibuk membersihkan piringpiring tanah dan mangkuk.
“Kau terlambat makan Kakang. Ayah,
para cantrik dan endang, dan
aku sudah makan. Ayah mencarimu tadi. Ternyata kau ditemukannya di bilik
belakang,” berkata Ken Dedes sambil mempersiapkan makan Agni.
“Aku lelah sekali,” jawab Agni.
Ken Dedes menundukkan wajahnya.
Jawaban Agni itu bagi Ken Dedes
terdengar seolah-olah berkata ‘Aku sangat lelah Ken Dedes, setelah aku berkelahi
mempertahankan kau’.
Dan tiba-tiba terdengar Ken Dedes
berdesis, “Terima kasih, Kakang.”
Mahisa Agni terkejut mendengar
kata-kata itu. Maka ia pun bertanya,
“Kenapa terima kasih?”
Ken Dedes tersadar dari
angan-angannya. Karena itu ia punmenjadi tersipu-sipu. Sahutnya, “Terima kasih,
bahwa kau masih akan
memberi aku pekerjaan dengan bekas-bekas makan itu.”
“Oh,” Mahisa Agni pun tersenyum,
“maafkan aku.”
Dan Mahisa Agni pun makanlah. Anak
muda itu duduk bersila di atas
bale-bale bambu, sedang Ken Dedes duduk pula di sampingnya. Dilayaninya
Mahisa Agni dengan cermatnya. Tidak bedanya ia melayani ayahnya. Ken Dedes yang bersikap
sebagai seorang adik itu, tahu benar
apa yang harus dilakukan untuk ayah dan saudara tuanya. Namun, kali ini terasa sikap
itu agak berbeda. Ken Dedes tidak banyak
berbicara seperti biasanya. Dan tiba-tiba terdengar gadis itu bergumam tanpa
melepaskan pandangannya
yang menghunjam ke gelap malam, “Kakang, Ayahmemanggil aku menghadap setelah
Kakang selesai makan malam.”
Jantung Mahisa Agni pun berdesir.
Gadis itu pun dipanggil pula oleh
ayahnya.
“Kalau demikian,” pikir Mahisa Agni,
“masalahnya pasti masalah gadis
itu. Mungkin akibat sikap Kuda Sempana siang tadi. Agaknya gurunya pun melihat ketidak
ikhlasan anak itu. Tetapi mungkin, meskipun
terdorong oleh peristiwa pagi tadi, ada juga persoalanpersoalan lain.”
Mahisa Agni menarik nafas panjang.
“Kenapa kau berdesah?” bertanya Ken
Dedes.
Mahisa Agni terkejut. Dicobanya
tersenyum. Jawabnya, “Aku lupa bahwa
aku sudah terlalu kenyang.”
“Bohong!” bantah Ken Dedes.
Sikap manjanya kadang-kadang masih
tampak, meskipun ia mencoba
bersikap sungguh-sungguh. Dan tiba-tiba saja Ken Dedes kini telah benar-benar
menjadi gadis dewasa di dalam tangkapan Mahisa Agni.
Dan tiba-tiba gadis itu memberengut.
Katanya, “Kau tidak mengacuhkan
aku.”
“Kenapa?” bertanya Agni, “bukankah
aku memperhatikan setiap kata-katamu.”
“Tidak,” sahut gadis itu, “aku
berbicara dengan sungguhsungguh. Tetapi
mendengar pun kau tidak.
“Aku mendengar,” jawab Agni.
“Apa yang aku katakan?” ia bertanya.
“Bapa Pendeta memanggil kau menghadap,”
Agni mengulangi kata-kata
Ken Dedes.
“Kau mendengarnya?” desis Ken Dedes,
“kalau demikian kau benar-benar
tidak menaruh perhatian.”
“Aku memperhatikan dengan
sungguh-sungguh pula,” Agni mencoba
membela diri.
“Kau tidak memberikan tanggapan
apa-apa. Kau tidak terkejut dan
kau tidak bertanya, kenapa aku dipanggil Ayah. Bahkan kau malahan berdesah karena kau
makan terlalu kenyang. Mungkin kau baru
merenungkan sesuatu sehingga perut kakang sendiri pun Kakang lupakan. Apakah Kakang
Agni sedang merenungkan Witri atau
Sita yang manis itu?” tuduh Ken Dedes.
“Ah,” bantah Mahisa Agni, “jangan
mengada-ada Ken Dedes. Aku mendengar
kata-katamu dan aku merenungkannya. Aku sedang berpikir apakah kira-kira
sebabnya.”
“Bohong,” Ken Dedes mencibirkan
bibirnya.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia tersenyum
melibat putri gurunya yang manja namun bersungguhsungguh itu.
“Aku benar-benar terlalu kenyang,”
Mahisa Agni bergumam, “justru
karena aku merenungkan kata-katamu.”
“Bohong. Bohong,” sekali lagi gadis
itu mencibirkan bibirnya.
“Sudahlah Ken Dedes. Nanti Bapa
Pendeta terlalu lama menunggu.
Disangkanya aku terlalu lama makan,” berkata Agni kemudian.
“Bukankah sebenarnya demikian. Kakang
makan terlalu lama meskipun
Kakang makan terlalu cepat,” jawab Ken Dedes.
Mahisa Agni diam saya. Dipandangnya
Ken Dedes itu, yang kemudian
berdiri membenahi piring-piring dan mangkuk-mangkuk. Diambilnya kendi dari glodog
dan disodorkannya kepada Mahisa Agni.
“Terima kasih Ken Dedes,” sambut
Mahisa Agni.
Ken Dedes yang hampir melangkah pergi
berhenti memandangi Mahisa
Agni, katanya, “Sejak kapan Kakang berterima kasih kepadaku?”
Agni menundukkan wajahnya. Ia tidak
menjawab kata-kata itu. Sehingga
Ken Dedes pun melangkah pergi. Dengan sudut matanya Mahisa Agni melihat gadis
itu. Tidak terlalu tinggi, bulat dan langsing. Pekerjaannya sehari-hari
telah membentuk tubuh gadis itu menjadi
serasi. Kuat namun tidak terlalu kasar. Dan tiba-tiba Mahisa Agni bergumam di dalam
hatinya, “Hem, benar juga kata anak-anak muda. Putri Bapa Pendeta itu bagaikan
Bunga di lereng Gunung Kawi.
Dan bunga itu kini mulai kembang.”
Mahisa Agni menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dan kembali ia tunduk
dalam-dalam ketika Ken Dedes datang kepadanya dan kembali duduk di sampingnya.
“Kakang,” gadis itu berkata pula.
Kali ini bersungguh-sungguh,“Ayah memanggil aku.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya,
katanya, “Kenapa kau dipanggil?”
Tetapi tiba-tiba gadis itu
memberengut kembali. Katanya, “Kakang,
kau menggodaku sejak tadi.”
“He,”
Agni tidak mengerti, “kenapa?”
Komentar
Posting Komentar