PELANGI DI LANGIT SINGASARI 5
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kuda
Sempana itu dahulu
adalah kawannya bermain pula seperti Wiraprana. Tetapi tiba-tiba ia menjadi muak melihat
wajah yang sombong itu. Maka katanya,
“Kuda Sempana. Jangan kau mencoba memperkecil arti
kami, anak-anak Panawijen. Kau juga anak dari tanah ini.
Kau mampu menjabat
pekerjaanmu sekarang. Demikian juga anak-anak yang lain. Kau telah menghina kampung halamanmu
sendiri.”
“Diam!” bentak Kuda Sempana.“Kalau kau ingin mengalami
nasib seperti
Wiraprana, bilanglah.”
Selangkah demi selangkah Mahisa Agni berjalan maju,
menuruni tebing.
Kemarahan di dadanya telah menjalari kepalanya. Ditatapnya wajah Kuda Sempana seperti menatap wajah
hantu. Tetapi yang berdiri di hadapannya sekarang
bukan hantu Karautan yang menakutkan setiap orang. Yang ada di hadapannya tidak lebih
dari Kuda Sempana. Tetapi
Mahisa Agni tak pernah merendahkan orang lain. Demikianlah pada saat ia berhadapan dengan Kuda Sempana.
Kuda Sempana, yang telah mendapat tempaan keprajuritan beberapa tahun di Istana Tumapel, itu
pun tidak sabar lagi. Dengan garangnya
ia berlari menyongsong Mahisa Agni. Tak ada sepatah kata pun lagi yang meluncur dari
mulutnya. Yang dilakukannya adalah
langsung menyerang lawannya. Mahisa
Agni telah bersiaga sepenuhnya. Karena itu, dengan
cepat ia mengelakkan diri. Sekali ia melingkar dan
dengan sapuan yang cepat, ia
berhasil menyentuh lambung lawannya dengan tumitnya.
Sentuhan itu tidak terlalu keras dan Kuda Sempana pun tidak merasakan sesuatu karena
sentuhan itu. Namun sentuhan itu telah
benar-benar mengejutkannya. Ia
sama sekali tidak menduga bahwa Mahisa Agni mampu
bergerak sedemikian cepatnya. Karena itu, sentuhan itu
telah memperingatkannya
bahwa Mahisa Agni mampu mengelak dan sekaligus
menyerang dengan cepatnya sehingga ia tidak seharusnya melayani Mahisa Agni seperti melayani
Wiraprana yang tegap tinggi itu.
Tetapi Kuda Sempana terlalu percaya kepada dirinya. Karena itu, kembali ia membusungkan dadanya. Dengan penuh
keyakinan kepada diri sendiri,
Kuda Sempana meloncat dan menyerang kembali dengan garangnya. Namun Mahisa Agni
menyambut serangan itu dengan tangkas.
Kuda Sempana menyerang Agni seperti badai yang melandalanda.
Cepat, keras, dan kuat. Tangan dan kakinya bergerak terayun-ayun membingungkan. Berputar,
melingkar tetapi kadangkadang menempuh
dadanya seperti angin ribut menghantam gunung.
Namun Mahisa Agni benar-benar seperti gunung yang tegak
tak tergoyahkan.
Serangan-serangan Kuda Sempana, betapapun
cepat dan kerasnya, tak banyak dapat menyentuh kulit
Mahisa Agni. Sehingga dengan demikian Kuda Sempana
menjadi semakin marah.
Sama sekali tak diduganya bahwa Mahisa Agni telah memiliki ilmu tata beladiri sedemikian baiknya.
Anak itu dikenalnya
beberapa tahun yang lalu sebagai anak yang patuh kepada gurunya, patuh melakukan ibadah, dan rajin
bekerja di sawah ladang dan
di rumah gurunya. Tetapi sama sekali tak diketahuinya
bahwa di balik dinding-dinding batu yang memagari rumah Empu Purwa, Agni mendapat tempaan lahir dan batin.
Ilmu yang akan
dapat menjadi penguat tubuh dan nyawanya. Tubuhnya yang
harus melawan setiap
tantangan lahiriah dan nyawanya yang harus dipersiapkan
untuk menghadap Yang Maha Agung.
Demikianlah maka perkelahian antara Kuda Sempana dan
Mahisa Agni itu pun
semakin lama menjadi semakin sengit. Kuda Sempana telah kehilangan pengamatan diri. Wiraprana,
yang kemudian telah mendapat seluruh kesadarannya kembali, dengan susah-payah mencoba mengangkat wajahnya
yang penuh lumuran
darah. Dari sela-sela pelupuk matanya yang
bengkak, ia melihat perkelahian yang sengit antara
Mahisa Agni dan Kuda
Sempana. Sekali-kali tampak mulutnya menyeringai menahan sakit namun kemudian tampak ia
tersenyum. Tetapi senyum itu pun segera
lenyap dari bibirnya. Bahkan ia menjadi cemas apabila Mahisa Agni akan mengalami nasib
seperti dirinya. Pandangan
matanya yang semula agak kabur, kini berangsur terang. Lambat laun ia dapat melihat perkelahian antara
Kuda Sempana dan
Mahisa Agni dengan jelas. Desak-mendesak, hantammenghantam singa lena. Meskipun Wiraprana tidak memiliki
ilmu sebaik Mahisa Agni maupun
Kuda Sempana namun Wiraprana telah mampu menilai keduanya. Dengan bekal ilmunya yang sedikit, Wiraprana
dapat mengetahui bahwa
keadaan Mahisa Agni cukup baik. Diam-diam iaberbangga dan berharap di dalam
hatinya. Ia mengharap Mahisa Agni
dapat memenangkan perkelahian itu.
Kuda Sempana yang dibakar oleh kemarahan dan kesombongannya bertempur dengan
seluruh tenaganya. Sekali-sekali ia melontarkan pandangannya kepada Ken Dedes.
Ia
masih melihat gadis itu
berdiri kaku di tanggul bendungan. Sehabis pekerjaannya
ini, ia akan menangkap gadis itu dan membawanya lari. Perkelahian yang terjadi di antara anak-anak muda
itu akan menutup
kemungkinan yang sebaik-baiknya baginya untuk menempuh cara yang wajar dan sopan. Ia takut kalau Empu
Purwa akan keberatan. Tetapi Mahisa Agni tidak segera dapat
dikalahkan. Bahkan anak itu
semakin lama seakan-akan menjadi semakin kuat dan cekatan. Akhirnya Kuda Sempana benar-benar
menjadi mata gelap. Hanya ada satu pilihan yang ada padanya. Membawa Ken Dedes bersamanya ke
Tumapel saat itu juga.
Wiraprana telah dilumpuhkan dan kini Mahisa Agni melintang di hadapannya.
Tiba-tiba terdengar Kuda Sempana berteriak nyaring, “Rawe-rawe rantas,
malang-malang putung!”
Bersamaan dengan itu terdengar pula Ken Dedes berteriak nyaring dibarengi geram Wiraprana
parau. Katanya, “Agni, hatihatilah!”
Mahisa Agni meloncat surut. Ditatapnya Kuda Sempana
dengan tajamnya.
Kemudian terdengar ia berdesis, “Adakah itu pilihanmu Kuda Sempana yang perkasa?”
“Wanita adalah sama berharganya dengan pusaka,” sahut Sempana, “taruhannya adalah nyawa.
Kau atau aku yang binasa.”
Mahisa Agni menggeram. Ternyata Kuda Sempana tega pada pati uripnya untuk mendapatkan
gadis idamannya. Dilihatnya di
tangan anak muda itu sebilah keris.
Kini Mahisa Agni tak dapat berbuat lain kecuali
berkelahi matimatian. Ia
sama sekali tak bersenjata. Namun ia pun tak dapat disilaukan hatinya oleh Kuda Sempana
yang kini bersenjata.
Terdengar ia bergumam perlahan sekali sehingga hanya dapat didengarnya
sendiri, “Tidak. Belum waktunya aku
mempergunakan pusaka pula. Aku akan mencoba menyelesaikan perkelahian ini dengan wajar.”
Namun yang terdengar adalah suara Kuda Sempana, “Agni,
aku masih memberimu
sekedar waktu. Tinggalkan tempat ini!”
Mahisa Agni menggeleng lemah, jawabnya, “Harus ada seseorang yang mencegah perbuatan
gilamu itu.”
Kuda Sempana tidak menunggu mulut Agni mengatub. Seperti tatit ia menyambar dada lawannya
dengan ujung kerisnya. Untunglah
bahwa Agni tetap bersiaga sehingga ia berhasil
menyelamatkan dirinya. Berbareng dengan kemarahannya
yang merayap ke
ubun-ubunnya. Kuda Sempana telah benar-benar bertempur antara hidup dan mati. Mahisa Agni pun kemudian tidak mau
diombang-ambingkan oleh ketidaktentuan
dari ujung dan pangkal perkelahian itu. Meskipun anak muda, murid Empu Purwa itu, belum mempergunakan
senjata apa pun namun ia
telah melepaskan segenap ilmu lahiriahnya. Telah diperasnya tenaga serta keprigelannya untuk melawan
keris Kuda Sempana. Dan
keris Kuda Sempana memang berbahaya. Ujungnya seperti seekor lalat yang mendesing-desing di sekeliling
tubuhnya.
Tetapi Agni cukup lincah sehingga lalat itu tidak sempat
hinggap di
kulitnya. Meskipun demikian, seluruh tubuh Agni telah
basah-kuyup
oleh keringatnya yang mengalir semakin lama semakin
deras.
Namun Mahisa Agni adalah murid Empu Purwa yang tekun.
Meskipun anak muda itu
bersenjata namun akhirnya terasa bahwa ujung kerisnya
sama sekali tak dapat
mengimbangi ujung jari-jari Mahisa Agni. Ujung jarijari Agni dengan lincahnya
menyentuh-nyentuh Kuda Sempana hampir
di setiap bagian tubuhnya yang dikehendaki. Dan jari-jari
Mahisa Agni benar-benar seperti batang-batang besi.
Sehingga kedua tangan
Agni itu mirip benar seperti dua batang tombak yang masing-masing bermata lima. Tetapi
keris Kuda Sempana pun keris yang
ampuh pula. Namun, meskipun keris itu berbisa setajam bisa
ular bandotan, serta meskipun Mahisa Agni tak berani
terkena akibat meskipun
sentuhan seujung rambut sekali pun dengan keris itu, tetapi lambat-laun namun pasti Mahisa Agni tampak
selalu menguasai
lawannya.
Dada Wiraprana pun tak kalah tegangnya. Masih terasa
betapa berat tangan
Kuda Sempana. Dan di tangan itu kini tergenggam keris. Namun ia percaya bahwa Mahisa Agni ternyata
memiliki ketangkasan jauh
melampaui ketangkasannya.
“Aku tidak mengira,” desisnya lemah, “Aku tidak pernah
melihat anak itu
membentuk dirinya menjadi seekor burung rajawali yang perkasa.”
Mahisa Agni kini benar-benar bertempur seperti seekor
rajawali yang garang.
Jari-jari Mahisa Agni benar-benar
tidak kalah berbahayanya dari keris Kuda Sempana.
Mula-mula Kuda Sempana tidak mau melihat kenyataan
itu.Namun lambat-laun hatinya digetarkan oleh kenyataan. Mahisa Agni melawannya dengan gigih. Karena
itu hatinya menjadi semakin gelap
dan anak muda itu bertempur membabi-buta. Akhirnya
Mahisa Agni menjadi tidak sabar lagi. Perkelahian itu sudah berlangsung terlalu lama.
Meskipun hampir segenap perhatian Mahisa Agni tertumpah pada perkelahian itu namun didengarnya
pula suara riuh yang semakin lama
semakin dekat. Terlintaslah di dalam benaknya bahwa suara
riuh itu pasti suara orang-orang Panawijen yang telah
mendengarberita perkelahian itu.
Agaknya Kuda Sempana pun mendengar suara riuh itu.
Tetapi ia yakin, meskipun dikerahkan segenap tenaga dan kemampuannya namun Agni tak
akan dapat dikalahkan. Bahkan
tiba-tiba tanpa diduganya, Agni menyerangnya bertubi-tubi seperti prahara. Agaknya usaha Mahisa
Agni itu berhasil. Dengan sebuah serangan
lambung yang mendatar, Mahisa Agni berhasil memutar tubuh Kuda Sempana yang berusaha
untuk menghindar. Dengan tangannya ia menghantam
tengkuk lawannya. Sekali lagi Kuda Sempana berusaha
menghindari. Tangan kanannya tiba-tiba terjulur lurus dan ujung kerisnya mengarah ke dada Agni.
Namun Agni cukup tangkas. Ketika
keris itu lewat secengkang di hadapan
dadanya, cepat-cepat ia memukul pergelangan tangan Kuda Sempana. Pukulan itu demikian
kerasnya sehingga terdengarlah
seakan-akan tulang pergelangan tangan itu retak.
Kuda Sempana terkejut bukan kepalang. Gerak yang sedemikian cepatnya itu sama sekali tak pernah
diduganya. Apalagi dilakukan oleh
Mahisa Agni, anak yang menghabiskan waktu remajanya di belakang dinding Desa Panawijen. Tetapi yang terjadi adalah, kerisnya
terlepas dan terpelanting lebih
dari tiga langkah daripadanya. Sedangkan perasaan sakit yang menyengat pergelangan tangannya,
seakan-akan merambat sampai ke
ubun-ubunnya.
Ia hanya dapat menunggu
apa yang akan dilakukan Mahisa Agni atasnya. Kuda Sempana
telah mengakui di dalam hatinya bahwa ia tak akan mampu membela diri seandainya Mahisa Agni akan
membunuhnya.
Suara riuh di kejauhan semakin lama menjadi semakin
dekat. Karena itu, Kuda
Sempana menjadi semakin gelisah. Kalau penduduk
Panawijen menganggap bahwa ia telah mencoba
melarikan Ken Dedes serta penduduk itu berhasil
menangkapnya, akibatnya dapat
mengerikan sekali. Kuda Sempana tahu benar bahwa penduduk Panawijen yang tenteram itu tidak terlalu
berbahaya baginya. Tetapi tiba-tiba Kuda Sempana
menyadari bahwa di hadapannya berdiri Mahisa Agni. Karena itu maka terdengar giginya
gemeretak menahan hati.
“Kuda Sempana,” terkejut ketika terdengar Mahisa Agni
berkata perlahan-lahan,
“Kuda Sempana, ambil kerismu.”
Kuda Sempana memandang wajah Agni dengan mata yang memancarkan keragu-raguan hatinya.
Benarkah Agni berkata demikian
atau telinganya telah rusak karena pukulan-pukulan Agni yang keras. Tetapi sekali lagi ia
mendengar Sempana berkata, “Ambillah
kerismu.”
Seperti mimpi, Kuda Sempana berjalan beberapa langkah, kemudian membungkuk memungut pusaka.
Tetapi ia tidak tahu, apa
yang harus dilakukan kemudian. Mahisa
Agni pun kemudian menjadi bingung, apa yang sebaiknya dilakukan. Kuda Sempana adalah
pelayan dalam Akuwu Tumapel. Kalau
terjadi sesuatu atasnya di desa kelahirannya, apakah Tunggul Ametung akan berdiam diri. Selagi Mahisa Agni menimbang-nimbang,
suara riuh itu pun telah dekat
benar di belakangnya. Kuda Sempana melihat mereka itu pula. Dengan gerak
naluriah ia bersiap.
Yang mula-mula mencapai tepian, tempat perkelahian
antara anak-anak muda
itu terjadi, adalah seorang yang bertubuh tinggi kekar, berdada bidang. Ia adalah Buyut Panawijen.
Dengan penuh wibawa ia memandang berkeliling. Kepada Mahisa Agni yang masih tegak
seperti tonggak, Kuda Sempana
yang berdiri dengan kaki renggang dan berwajah tegang.
Kemudian kepada anaknya Wiraprana. Anak muda itu dengan
susah payah mencoba
berdiri. Ketika ditatapnya wajah ayahnya tiba-tiba ia tersenyum.
“Latihan yang jelek, Ayah,” katanya.
Tetapi Buyut Panawijen itu sama sekali tidak tersenyum.
Bahkan tampak ia
menyesal. Desisnya, “Kalian telah menjadikan pedukuhan yang damai ini menjadi gempar.”
Wiraprana tidak tersenyum lagi. Tertatih-tatih ia
berjalan mendekati
ayahnya.
“Apakah yang telah terjadi?” geram Buyut Panawijen itu.
Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian. Wiraprana,
Mahisa Agni, dan Kuda
Sempana menundukkan wajah mereka. Apalagi ketika
kemudian mereka mendengar suara nyaring dari tebing, “Agni, apakah yang kau lakukan?”
Agni mengangkat wajahnya. Hatinya berdebar-debar ketika
ia
melihat gurunya yang tua
itu berlari tersuruk-suruk. Sesaat kemudian
semua mata memandang ke arahnya, Empu Purwa, ayah gadis yang menimbulkan perkelahian tanpa dikehendakinya
itu. Kuda Sempana pun
melihat orang tua itu. Timbullah beribu-ribu pertanyaan di dalam dadanya. Orang tua itu sama sekali
tidak tampak sebagai
seorang sakti selain seorang yang tekun beribadah. Apakah Agni mempunyai guru yang lain
dalam pengolahan badan wadagnya?
Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa anak muda itu telah mengalahkannya.
“Agni,” berkata Empu Purwa terengah-engah setelah ia
sampai ke tempat
orang-orang Panawijen itu berkerumun, “Adakah kau telah membuat onar?”
Mahisa Agni tak berani memandang wajah gurunya. Ingin ia mengatakan apa yang sudah terjadi
sebenarnya tetapi mulutnya seperti
terkunci. Ia takut kalau dengan demikian ia akan menyinggung Ken Dedes dan menjadi semakin malu
karenanya.
“Agni,” terdengar Empu Purwa berkata pula, “Apakah pula sebabnya engkau berkelahi? Apakah kau
ingin menunjukkan bahwa kau
adalah laki-laki muda yang pandai bertengkar?”
Mahisa Agni menarik nafas. Namun mulutnya tetap membisu sehingga terdengar Wiraprana berkata,
“Bukan salah Agni, Empu.”
Empu Purwa menoleh. Dilihatnya Wiraprana yang wajahnya menjadi merah biru. Katanya, “Adakah
itu perbuatan Agni?”
“Bukan, Empu,” jawab Wiraprana cepat-cepat, “Agni tak
akan berbuat
demikian.”
Orang tua itu kemudian merenungi Mahisa Agni,
seakan-akan anak itu belum
pernah dilihatnya. Kemudian matanya beredar dan hinggap di wajah Kuda Sempana. Dengan terbata-bata Empu
Purwa itu bertanya,
“Angger Kuda Sempana, kenapa Angger nganggar
keris. Apakah Agni mengganggumu?”
Kuda Sempana pun tak dapat menjawab pertanyaan itu
sehingga tanpa
disadarinya kembali pandangan matanya terkulai di atas pasir tepian.
“Empu,” terdengar kemudian Buyut Panawijen berkata, “aku
pun sedang berusaha
mengerti, apakah yang sedang terjadi di sini.”
Empu Purwa mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, ya Ki Buyut. Aku menjadi gemetar ketika aku
mendengar anak-anak berteriakteriak di
jalan, katanya Angger Kuda Sempana, Angger Wiraprana, dan Mahisa Agni saling berkelahi. Aku
jadi sedemikian bingung sehingga
aku tidak sempat bertanya-tanya lagi.”
“Aku pun mendengar dari anak-anak itu,” sahut Ki Buyut Panawijen. Kemudian kepada Wiraprana
ia bertanya, “Benarkah itu Prana?”
“Tidak seluruhnya,” jawab anak muda itu, “Yang mula-mula berkelahi adalah aku dan Kuda
Sempana.”
“Kau?” ulang ayahnya.
“Ya,” jawab Wiraprana, “tidakkah anak-anak itu berkata demikian?”
“Aku tak sempat mendengarnya,” sahut ayahnya.
“Dan akhir dari perkelahian itu,” Wiraprana meneruskan,
“Aku kalah. Tidakkah
Ayah lihat mukaku yang bengap?”
“Aku tidak bertanya akhir dari perkelahian itu,” potong
ayahnya, “tetapi kenapa
perkelahian itu mulai?”
Wiraprana pun menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Kuda Sempana yang masih tunduk
dalam-dalam. Dan tiba-tiba dilihatnya
Ken Dedes masih berdiri menggigil di tebing sungai. eberapa orang sebenarnya telah
mendengar apa yang sebenarnya terjadi
dari anak-anak mereka namun ketika di tempat itu hadir pula Empu Purwa maka mereka pun menjadi
ragu-ragu pula untuk mengatakannya.
Tetapi sesaat kemudian Ki Buyut itu pun mendesak pula, “Wiraprana, tidakkah kau bisa
berkata?”
Wiraprana menarik nafas dalam-dalam dan ketika ia sudah
tidak dapat mengelak
lagi, maka katanya, “Ayah, bertanyalah kepada mereka yang menceritakan perkelahian itu. Itulah mereka,
anakanak yang tadi sedang
mencuci pakaian di belumbang ini. Mereka kini
sedang mengintip apa pula yang akan terjadi di sini.”
Mendengar jawaban itu maka semua mata tiba-tiba bergerak
keatas tanggul. Sehingga tampak pulalah oleh mereka itu, kepalakepala gadis yang sedang mengintip dengan
keingintahuan, bagaimanakah
akhir dari peristiwa itu. Ken
Dedes yang melihat semua mata memandang ke arah tanggul di atasnya, merasa seolah-olah mata itu memandangnya dengan penuh hinaan dan penyesalan.
Ia merasa bahwa dirinya sebab
dari keributan itu. Karena itu maka tiba-tiba perasaan yang bergolak di dadanya itu tak
dapat dibendungnya lagi sehingga tiba-tiba
gadis itu berlari menghambur sambil berteriak, “Ayah, akulah yang bersalah.”
Empu Purwa terkejut mendengar teriakan itu. Demikian Ken
Dedes sampai kepada ayahnya itu maka dengan serta-merta ia menjatuhkan dirinya sambil menangis
sejadi-jadinya. Katanya
di sela-sela tangis itu, “Ayah. Akulah sumber dari malapetaka yang menimpa padukuhan
kita yang damai. Karena itu Ayah,
betapa hinanya aku maka adalah lebih baik bagiku kalau Ayah sudi membunuhku. Biarlah aku mati di
hadapan penduduk Panawijen
yang tenteram ini untuk menebus kesalahan dan arang yang mencoreng di wajah keluarga.”
“Ken Dedes,” sahut ayahnya, “kenapakah kau ini?”
“Bunuh saja aku, Ayah,” tangis gadis itu.
Empu Purwa kemudian tegak seperti patung. Ditatapnya
rambut anaknya yang
panjang berombak, terurai menutup punggungnya.
“Bangunlah anakku,” bisiknya, “katakan apa yang
sebenarnya terjadi. Aku
adalah ayahmu.”
“Tidak!” teriak Ken Dedes, “Bunuh aku, Ayah.”
Ki Buyut Panawijen pun kemudian mendekatinya pula.
Dengan lembut ia
berkata, “Ken Dedes, jangan menyalahkan diri sendiri. Berkatalah apa yang terjadi.”
Mula-mula gadis itu tidak juga mau berkata. Tetapi
lambat laun, setelah beberapa
orang membujuknya, Ken Dedes pun mengangkat wajahnya, memandang ayahnya dengan sayu. Katanya,
“Apakah ada gunanya?”
“Berkatalah, supaya kami mendengar,” sahut Ki Buyut
Panawijen.
Sebenarnya Ki Buyut itu pun telah dapat menduga, apa
sebabnya maka tiba-tiba
saja pedukuhannya yang tenteram itu diributkan oleh sebuah perkelahian yang mengerikan.
Dan tiba-tiba pula ia pun menjadi
malu. Satu di antara mereka yang berkelahi adalah anaknya.
“Hem,” pikirnya. “Adakah anakku berkelahi karena seorang gadis?”
Ken Dedes pun kemudian bercerita terbata-bata. Kuda
Sempana pun mendengar kisah itu pula. Setiap kata yang diucapkan oleh gadis itu, serasa
sebuah pukulan yang menampar adanya.
Kuda Sempana tahu pasti bahwa orang-orang itu pasti akan menyalahkannya.
“Hem,” geram Ki Buyut Panawijen setelah Ken Dedes
selesai berbicara.
Dipandanginya wajah Kuda Sempana yang kaku tegang. Kemudian terdengar Buyut Panawijen
itu berkata, “Angger Kuda Sempana.
Benarkah cerita putri Empu Purwa itu?”
Kuda Sempana mengerling ke setiap wajah laki-laki
Panawijen yang berdiri
melingkar di sekitarnya. Kuda Sempana tak dapat mengelak lagi. Di hadapannya
berdiri beberapa orang
saksi. Sehingga karena
itu terpaksa ia mengangguk sambil berkata, “Ya, Ki Buyut. Tetapi aku terdesak oleh keadaan. Aku
telah mencoba datang ke rumah
Ken Dedes. Tetapi gadis itu tak ada di rumah,”
“Adakah demikian adat di pedukuhan kita?” desak Ki
Buyut, “Kenapa Angger
Kuda Sempana tidak mencari ayahnya. Bahkan seharusnya
dengan sebuah upacara?”
“Aku ingin mendapat kepastian sedangkan waktuku terlalu pendek. Besok aku harus terus kembali
ke Tumapel,” jawab anak muda
itu.
“Di pinggir sungai?” bertanya Ki Buyut.
Kuda Sempana tak dapat menjawab. Hampir saja ia menyebut
ada yang akan ditempuhnya. Melarikan Ken
Dedes dan menyembunyikannya sampai terdapat keturunan daripadanya. Tetapi niat itu urung.
Akibat dari adat itu pun tak akan mau
ditanggungkan. Sebab bila niat itu gagal dan keluarga gadis yang dilarikan itu menuntutnya, ia
akan dapat perlakuan yang mengerikan.
Mati dirampok orang seperti seekor harimau yang masuk ke dalam padukuhan. Karena Kuda Sempana tidak menjawab maka sejenak suasana menjadi sepi.
Di dalam kepala Ki Buyut Panawijen itu pun
melingkar-lingkar pula
berbagai pertanyaan. Tanpa terucapkan namun ia tahu apa yang akan ditempuh oleh Kuda Sempana.
Dikenalnya anak itu sebagai
anak yang cenderung menuruti kemauan sendiri. Karena itu tiba-tiba ia berdesis, “Sayang.
Sebenarnya kami, penduduk dari pedukuhan
ini, merasa bangga bahwa seorang anaknya telah berhasil merebut hati sang Akuwu Tumapel sehingga
mendapat tempat yang baik
di sisinya. Kepercayaan itu sebenarnya kami rasakan sebagai suatu kepercayaan pula buat kami,
penduduk Panawijen yang
sepi. Angger Kuda Sempana akan dapat menjadi tempat kami untuk berteduh jika hujan turun dan bernaung
jika terik matahari
membakar tubuh. Tetapi sayang. Sayang….”
Penyesalan yang dalam membayang di wajah Buyut Panawijen
itu. Tak seorang pun
menyambung kata-kata itu. Mereka tinggal menunggu
apa yang akan dilakukan oleh pimpinan pedukuhan itu. Namun timbullah di dalam setiap
kepala, keragu-raguan untuk berbuat
sesuatu. Kuda Sempana adalah pengawal dalam Akuwu Tumapel. Sedang setiap orang tahu sifat dan tabiat
yang aneh dari Tunggul Ametung itu.
Akuwu itu benar-benar orang yang keras hati, sekeras batu akik namun pada suatu saat hati itu dapat
selunak kapas. Karena itu tak
seorang pun dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Tunggul Ametung jika salah seorang
pengawalnya mengalami
perlakuan yang jelek di kampung halamannya. Meskipun demikian, adat harus ditegakkan.
Meskipun Kuda Sempana itu senapati
sekali pun, seharusnya ia mendapat perlakuan yang sama apabila telah dilakukan sesuatu kesalahan.
Dan semuanya itu tergantung kepada Empu Purwa, ayah dari gadis yang akan dilarikan itu. Apabila orang tua itu menganggap bahwa Kuda Sempana telah
melarikan anak gadisnya dan
maksud itu dapat dicegah maka ia dapat menuntut hukuman atas anak muda itu. Kuda Sempana pun sadar akan hal itu.
Namun telah bulat tekad di
dalam hatinya, bahwa wanita, pusaka, dan nyawanya tak berbeda nilainya. Menghadapi Mahisa Agni sekali pun
meskipun akan berakibat
maut baginya.
Empu Purwa menyadari keadaannya. Ditatapnya setiap wajah dari tetangga-tetangganya itu.
Dilihatnya keragu-raguan dan kecemasan
di wajah-wajah itu. Sekali dipandangnya wajah anaknya pula. Pucat dan gemetar. Hatinya
masih saja dicengkam oleh perasaan
malu dan hina. Ketika kemudian Empu Purwa memandang wajah Mahisa Agni, dilihatnya wajah
itu merah membara. Dengan tajam
anak muda itu tak melepaskan pandangannya atas Kuda Sempana.
Komentar
Posting Komentar