PELANGI DI LANGIT SINGASARI ( 3 )
Ken
Dedes, Wiraprana dan Kuda Sempana
Mahisa Agni telah bersiap. Ia akan
dapat menyerang Ken Arokdengan satu loncatan. Tetapi ketika hampir saja ia
meloncatmenyerang, sekali lagi ia terkejut. Dilihatnya Ken Arok itu
meloncatmundur dan tiba-tiba hantu padang rumput Karautan itu memutar tubuhnya
dan berlari sekencang-kencangnya seperti kuda lepas dariikatannya. Sesaat Agni
diam mematung. Namun kemudian ia pun meloncat mengejar hantu yang mengerikan
itu.
Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti
karena suara gurunya, “Agni! Biarkan ia lari. Kemarilah!”
Sekali lagi Agni tidak dapat memahami
tindakan gurunya. KenArok adalah orang buruan yang berbahaya. Apakah orang itu
akandilepaskannya? Tetapi Mahisa Agni berhenti juga. Dengan wajah yang tegang
karena pertanyaan-pertanyaan yang bergelut didadanya, ia berjalan tergesa-gesa
mendekati gurunya.
“Bapa,” katanya terbata-bata, “kenapa
orang itu kita biarkanpergi?”
Empu Purwa menarik nafas.
Perlahan-lahan orang tua itu berdiri.
“Marilah kita lanjutkan perjalanan
kita,” berkata orang tua itu.Seakan-akan ia tak mendengar pertanyaan muridnya,
bahkan katanya kemudian, “Kita tidak akan sampai tengah malam nanti.”
Karena pertanyaannya tidak dijawab,
Agni menjadi semakin tidak puas. Tetapi ia diam saja. Ia pun kemudian berjalan
di samping gurunya. Dengan matanya yang tajam, ditatapnya padang rumput yang
terbentang di hadapannya. Beberapa tonggak lagi ia masih harus berjalan.Dalam
keheningan malam itu kemudian terdengar suara gurunya lirih, “Agni, masihkah
kau berpikir tentang hantu padang Karautan?”
Mahisa Agni menoleh. Kemudian ia
mengangguk sambil menjawab, “Ya Bapa.”
“Apa yang kau lihat pada anak muda
itu?” bertanya gurunya.
Mahisa Agni tidak tahu maksud
gurunya. Karena itu untuk sesaat ia tidak menjawab sehingga Empu Purwa
mengulangi, “Adakah sesuatu yang aneh yang kau lihat pada Ken Arok?”
“Apakah yang aneh itu?” bertanya
Mahisa Agni.
“Itulah yang aku tanyakan kepadamu.
Sesuatu yang tidak ada pada kebanyakan manusia,” sahut gurunya.
Mahisa Agni termenung sejenak.
Dicobanya untuk membayangkan kembali tubuh lawannya. Dada yang bidang, sepasang
tangan yang kokoh kuat, rambut yang liar berjuntai sampai ke pundaknya, dan wajahnya
yang tampan namun penuh kekasaran dan kekerasan.
Tiba-tiba Agni menggeleng, gumamnya seperti
kepada diri sendiri, “Tak ada. Tak ada yang aneh padanya.”
Empu Purwa mengangguk-angguk.
Pikirnya, “Aku sudah menduga bahwa Agni tak melihat cahaya di ubun-ubun Ken
Arok.”
Tetapi yang keluar dari mulutnya
adalah, “Memang tidak ada Agni namun ada cerita yang aneh tentang anak muda
yang menjadi buruan itu.”
Mahisa Agni mengawasi wajah gurunya
dengan seksama. Tetapi tak dilihatnya kesan apa pun pada wajah yang tua itu.
Mungkin karena gelapnya malam. Mungkin karena di wajah pendeta tua itu segala
sesuatu menjadi tenang, setenang permukaan telaga yang terlindung dari sentuhan
angin.
Tetapi kemudian terdengar Empu Purwa
berkata, “Agni, tak banyak yang aku dengar tentang asal-usul Ken Arok. Tetapi
aku pernah mendengarnya dari mulut beberapa orang pendeta. Di antaranya pendeta
di Sagenggeng. Bahwa dari kepala Ken Arok itu memancar cahaya yang
kemerah-merahan. Dan cahaya yang demikian adalah ciri dari mereka yang dikasihi
oleh Brahma.”
“Kalau demikian…?” kata-kata Mahisa
Agni terputus.
“Ya,” Empu Purwa mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Ken Arok adalah kekasih Brahma. Bahkan orang pernah menganggap
bahwa Ken Arok adalah pecahan Dewa Brahma sendiri.”
Mahisa Agni menundukkan wajahnya,
ditatapnya ujung kakinya berganti-ganti. Tiba-tiba teringatlah ia kepada
trisula di tangannya. Ya, di tangan kirinya masih digenggamnya tangkai trisula
yang terlalu kecil baginya.Tanpa sesadarnya, diamatinya trisula itu dengan
seksama. Trisula itu benar-benar berkilauan namun tidak sampai menyilaukan baginya.
Mahisa Agni terkejut ketika
didengarnya gurunya berkata, “Agni, cerita tentang trisula itu sama anehnya
dengan cerita tentang orang buruan itu.” Agni mengangkat wajahnya. Sekali lagi
dipandangnya wajah gurunya. Wajah yang sepi hening.
“Trisula itu adalah hadiah dari
Siwa,” Empu Purwa meneruskan. Memang cerita itu aneh bagi Mahisa Agni. Karena
itu ia menjadi heran. Kekasih Brahma yang hampir setiap saat menjalankan kejahatan,
dan senjata hadiah Siwa di tangannya. Adakah dengan demikian berarti bahwa
membenarkan segala macam kejahatan itu? Meskipun pertanyaan itu tidak
terucapkan namun
Empu Purwa telah dapat menangkap dari
wajah muridnya, maka katanya, “Agni. Jangan kau risaukan apa yang sedang
dilakukan oleh Brahma, Siwa, dan Wisnu sekali pun. Kalau pada suatu saat,
orang-orang yang menurut cerita bersumber pada kekuatan Brahma harus berhadapan
dengan orang-orang bersumber pada kekuatan Siwa atau Wisnu, itu bukanlah hal
yang perlu kau herankan. Sebab, baik Siwa, Brahma, maupun Wisnu itu sendiri
merupakan pancaran dari Maha Kekuasaan Yang Esa. Dan keesaan kekuasaan itulah
yang mengatur mereka. Apa yang dilakukan Brahma, Wisnu, dan Siwa adalah satu rangkaian
yang bersangkut-paut dengan tujuan tunggal. Apa yang diadakan oleh kekuasaan
itu, kemudian dipeliharanya untuk kemudian, apabila sampai saatnya,
dihancurkannya.”
Kini Mahisa Agni dapat mengerti apa
yang dikatakan oleh gurunya. Dan setapak demi setapak mereka mendekati rumah
mereka. Desa Panawijen. Ketika mereka menjadi semakin dekat semakin dekat maka lupalah
Mahisa Agni kepada Ken Arok, pada trisula di tangannya, pada cerita tentang
Brahma dan Siwa, serta pada perkelahian yang baru saja dialami. Yang ada di
dalam angan-angannya kemudian adalah kampung halamannya. Kampung halaman di
mana ia meneguk ilmu dari gurunya, Empu Purwa.
Yang mula-mula hadir di dalam
angan-angannya adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan seperti yang
dirindukan oleh bidadari sekali pun. Kadang-kadang Mahisa Agni menjadi heran,
apabila dibandingkannya wajah gadis itu dan wajah ayahnya. Ayahnya bukanlah
seorang yang berwajah tampan pada masa mudanya. Entahlah kalau ibunya seorang
bidadari yang kamanungsan. Mahisa Agni belum pernah melihatnya. Bahkan anak
gadis itu sendiri pun tak dapat mengingat wajah ibunya lagi. Dan gadis yang
bernama Ken Dedes itu, di matanya tak ada yang memadainya. Sehingga tidaklah
aneh bahwa setiap mulut yang tersebar dari lereng timur Gunung Kawi sampai ke
Tumapel pernah menyebut namanya.
Tetapi gadis itu terlalu bersikap
manja kepadanya, seperti seorang adik kepada seorang kakak yang sangat
mengasihinya. Mahisa Agni tidak begitu senang pada sikap itu. Seharusnya Ken Dedes
tidak menganggapnya sebagai seorang kakak. Tiba-tiba wajah Agni menjadi
kemerah-merahan. Ia tidak berani meneruskan angan-angannya. Ia menjadi malu
kepada dirinya sendiri. Perlahan-lahan Mahisa Agni menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Ia terkejut ketika terdengar gurunya
berkata, “Agni, sebaiknya kau kembalikan trisula itu kepadaku. Aku mengharap
bahwa kelak kau akan dapat memilikinya.”
“Oh,” terdengar sebuah desis perlahan
dari mulut Agni. Cepat-cepat ia menyerahkan senjata aneh itu kepada gurunya
tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Kemudian mereka pun
meneruskan perjalanan mereka. Sudah tidak seberapa jauh lagi. Dari desa di
hadapan mereka, terdengarlah kokok ayam jantan bersahut-sahutan.
“Hari menjelang pagi,” desis Empu
Purwa.
“Kita terhalang di padang Karautan,”
sahut Mahisa Agni.
Kembali mereka berdiam diri. Dan
kembali Mahisa Agni berangan-angan. Kini yang hadir di dalam benaknya adalah sahabatnya.
Seorang pemuda yang tampan, bertubuh tinggi tegap, bermata hitam mengkilat.
Anak muda itu adalah putra Ki Buyut Panawijen. Mahisa Agni adalah seorang
pemuda yang tangguh, yang hampir sempurna dalam ilmu tata beladiri dan tata
bermain senjata. Berkelahi seorang diri dan bertempur dalam gelar-gelar perang.
Sedangkan Wiraprana, anak muda putra Ki Buyut Panawijen, adalah seorang anak
muda yang tak banyak perhatiannya pada ilmu tata beladiri meskipun
dipelajarinya serba sedikit dari ayahnya. Meskipun anak muda itu rajin bekerja
namun ia tidak setekun Mahisa Agni dalam menempa diri. Meskipun demikian,
karena Agni tidak biasa menunjukkan kelebihannya, keduanya dapat bergaul dengan
rapatnya. Mereka memasuki desa mereka pada saat cahaya merah membayang di
timur. Ketika mereka, Empu Purwa dan Mahisa Agni, memasuki halaman rumah mereka
yang dikelilingi oleh pagar batu setinggi orang, mereka melihat api menyala di
ujung dapur.
“Ken Dedes sudah bangun,” berkata
Empu Purwa perlahan.
Mahisa Agni tidak menjawab. Sejak
semula ia sudah menyangka bahwa Ken Dedes dan para endanglah yang sedang
merebus air sambil menunggu kedatangan mereka. Sekali mereka berjalan
melingkari pertamanan di tengah-tengah halaman yang luas itu. Kemudian mereka
berjalan di tanggul kolam yang berair bening. Di siang hari, kolam itu dipenuhi
oleh itik, angsa, dan berati, berenang dengan riangnya. Kedatangan mereka
disambut oleh Ken Dedes dengan penuh kemanjaan. Dengan bersungut-sungut
terdengar ia bergumam, “Ayah terlalu lama pergi bersama Kakang Agni. Semalam
aku tidak tidur. Ayah berkata bahwa selambat-lambatnya senja kemarin sampai di
rumah. Tetapi baru pagi ini ayah sampai.”
“Agni kerasan di Tumapel,” jawab Empu
Purwa.
“Ah,” desah Ken Dedes, “barangkali
gadis-gadis Tumapel menahannya.”
Mahisa Agni tersenyum kemalu-maluan.
Ia tidak mau disangka demikian, namun ia tidak dapat mengatakan keadaan yang sebenarnya
di padang Karautan. Karena itu menyahut, “Aku berburu kelinci di Padang
Karautan.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya.
Katanya, “Ayah melewati padang rumput itu?”
Empu Purwa mengangguk.
“Tidaklah Ayah takut kepada hantu
yang sering menghadang orang lalu di padang rumput itu?” desak Ken Dedes.
Sekali lagi Empu Purwa menggeleng.
Ken Dedes tidak bertanya lagi tetapi wajahnya Nampak bersungguh-sungguh.
Tiba-tiba Ken Dedes melangkah maju mendekati Mahisa Agni. Ditatapnya sesuatu
pada wajah anak muda itu.
“Kenapa wajahmu, Kakang?” bertanya
Ken Dedes kemudian sambil meraba pipi Mahisa Agni. Baru pada saat itu Mahisa
Agni merasa wajahnya nyeri. Sebuah jalur kemerah-merahan membujur di wajahnya,
di samping noda yang kebiru-biruan. Sekilas terasalah tangan hantu Karautan menghantam
wajahnya itu pada saat ia berkelahi.
“Pipiku tersangkut dahan pada saat
aku merunduk menangkap kelinci,” jawab Agni.
Meskipun Ken Dedes tidak bertanya
lagi namun tampaklah kerutkerut di keningnya sebagai pertanyaan hatinya. Sesaat
kemudian mereka telah duduk menghadapi minuman hangat. Air daun sereh dengan
gula aren telah menyegarkan tubuh mereka.
“Kau terlalu lelah Agni,” berkata
Empu Purwa. “Beristirahatlah.” Sebenarnyalah bahwa Agni terlalu lelah.. Karena
itu ia pun segera beristirahat pula. Betapapun lelahnya namun Agni tidak dapat
tidur terlalu lamaTetapi kali ini Mahisa Agni terlambat juga. Ketika ia membuka
mata, dilihatnya cahaya matahari telah memanasi dinding-dinding ruang tidurnya.
Karena itu segera ia bangkit dan segera pula dengan tergesa-gesa pergi ke
belakang membersihkan diri. Ketika ia melangkah kembali masuk ke ruang dalam,
Mahisa Agni terkejut mendengar sapa perlahan-lahan, “Kau kerinan, Agni.”
Agni menoleh. Dilihatnya di sudut
bale-bale besar yang terbentang di ruangan itu, Wiraprana duduk bersila.
Senyumnya yang segar membayang di antara kedua bibirnya. Agni pun tersenyum
pula. Jawabnya, “Aku terlalu lelah.”
“Selesaikan dirimu. Kita pergi ke sawah kalau
kau tidak terlalu lelah,” ajak Wiraprana.
Agni tidak menjawab. Segera ia
membenahi diri. Sesaat kemudian mereka berdua telah turun ke halaman. Beberapa
kali mata Agni mengitari seluruh ruangan dan halaman rumahnya untuk mencari Ken
Dedes. Namun gadis itu tak ditemuinya. Ketika di halaman ia berpapasan dengan
seorang cantrik, maka ia bertanya,
“Ke mana Ken Dedes?”
“Ke sungai, Ngger,” jawab cantrik
itu.
“Apa yang dilakukan?” desak Agni.
“Ken Dedes membawa kelenting dan
dijinjingnya bakul cucian,” jawab cantrik itu pula.
Agni tidak bertanya lagi. Dan
keduanya berjalan pula keluar halaman. Tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika
mereka melihat debu yang berhamburan dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang
berlari tidak terlalu kencang. Kuda itu berjalan searah dengan Agni dan Wiraprana.
Agni melihat kuda yang besar dan tegar itu dengan kagumnya. Di punggung kuda
itu duduk seorang pemuda dengan pakaian yang rapi dan teratur. Kain lurik merah
bergaris-garis cokelat, celana hitam mengkilat, dan timang bermata berlian. Di
punggungnya terselip sebuah pusaka, keris berwrangka emas.
Melihat anak muda yang duduk di atas
punggung kuda itu wajah Agni menjadi terang. Ia tertawa sambil melambaikan
tangannya dan dari sela-sela tertawanya terdengar ia menyapa, “Kuda Sempana!”
Wiraprana berdiri saja di tempatnya.
Ia melihat Agni dengan bibir yang ditarik ke sisi. Bisiknya, “Kau akan kecewa,
Agni.”
Meskipun Agni mendengar bisik
sahabatnya namun ia tidak segera menangkap maksudnya. Ia masih tegak di tepi
jalan menanti anak muda yang berkuda dengan gagahnya itu. Mula-mula Mahisa
menyangka bahwa Kuda Sempana tidak melihatnya. Karena itu sekali lagi menyapa,
“He, Kuda Sempana!”
Anak muda yang bernama Kuda Sempana
itu memperlambat kudanya. Dilemparkan pandangannya ke arah Mahisa Agni. Namun hanya
sebentar. Ia mengangguk tanpa kesan. Kemudian ia melanjutkan perjalanan. Mahisa
Agni mengerutkan keningnya. Kuda Sempana baru beberapa tahun meninggalkan
kampung halaman. Apakah anak itu telah melupakannya? Untuk meyakinkan dirinya,
Mahisa Agni masih tetap berdiri menanti Kuda Sempana. Tetapi ia menjadi kecewa ketika
tiba-tiba kuda yang dinaikinya membelok masuk ke halaman. Justru halaman rumah
gurunya.
“Bukankah itu Kuda Sempana?” tanpa
sesadarnya Agni bertanya.
“Ya,” jawab Wiraprana.
“Aneh,” berkata Agni seperti orang yang
menyesal.
“Sudah aku katakan,” jawab Prana,
“kau akan kecewa. Dua hari yang lampau, aku menyesal pula seperti kau sekarang.
Anak itu sekarang menjadi pelayan dalam dari Akuwu Tunggul Ametung. Ia menjadi
kaya dan tak mengenal kita lagi.”
“Barangkali ia tergesa-gesa,” Agni
mencoba untuk memuaskan hatinya sendiri.
“Aku telah mengalami dua hari yang
lampau. Ia memandangku seperti orang asing,” sahut Prana.
Tetapi Mahisa Agni belum yakin. Tak
masuk di akalnya bahwa hanya karena menjadi pelayan dalam Akuwu Tumapel, seseorang
dapat melupakan kawan-kawan bermain sejak masa kanak-kanaknya.
Wiraprana melihat keragu-raguan itu.
Maka katanya sambil tersenyum, “Agni, agaknya kau tidak yakin akan kata-kataku.
Cobalah kau temui anak itu.”
“Marilah,” ajak Agni.
Wiraprana menggeleng. Jawabnya, “Aku
segan. Tak ada gunanya. Aku akan mendahului. Aku tunggu kau di atas tanggul.” Mahisa
Agni sejenak menjadi ragu-ragu. Karena itu akhirnya ia berkata, “Baiklah Prana,
tunggulah aku di atas tanggul. Aku segera menyusul.”
Sekali lagi Wiraprana tersenyum.
Kemudian mendahului Agni, yang karena keinginannya untuk mengetahui keadaan
Kuda Sempana, berjalan kembali ke halaman rumahnya.Ketika ia memasuki halaman,
dilihatnya Kuda Sempana masih berada di atas punggung kudanya. Dengan sikap
seorang bangsawan ia sedang bercakap-cakap dengan seorang cantrik.
“Sudah lama ia pergi?” terdengar Kuda
Sempana itu bertanya.
“Sudah Angger,” jawab cantrik itu.
“Sendiri?” bertanya Kuda Sempana.
“Dengan beberapa endang, Angger,”
jawab cantrik itu. Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditebarkan
pandangannya ke seluruh sudut halaman. Dan ketika dilihatnya Mahisa Agni, Kuda
Sempana mengerutkan keningnya. Mahisa Agni tersenyum dengan ramahnya. Dengan
akrabnya ia berkata, “Sempana. Alangkah gagahnya kau sekarang.”
Anak muda itu memandang Mahisa Agni
dengan tajam. Kemudian katanya, “Ya.”
Jawaban itu terlalu pendek bagi dua
orang kawan yang telah lama tidak bertemu. Meskipun demikian Agni masih
menyapanya lagi, “Apakah keperluanmu? Adakah aku dapat membantumu?”
Kuda Sempana menggeleng, “Aku
tergesa-gesa.”
Perasaan kecewa mulai menjalari dada
Mahisa Agni. Percayalah ia sekarang kepada Wiraprana bahwa hal yang diragukan
itu benarbenar dapat terjadi.
Namun sekali lagi Agni bertanya,
“Adakah sesuatu pesan untuk Bapa Pendeta?”
Sempana menggeleng. “Tidak,” katanya,
“Aku tidak mempunyai sesuatu keperluan dengan Empu Purwa. Aku datang untuk
putrinya.”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada
Agni. Tetapi ia mencoba menguasai perasaannya. Dan tahulah ia sekarang,
siapakah yang ditanyakan oleh Sempana kepada cantrik itu. Mahisa Agni terkejut
ketika kemudian terdengar Kuda Sempana berkata, “Aku tidak mempunyai banyak
waktu.”
Anak muda yang gagah itu tidak
menunggu jawaban siapa pun. Segera ia menarik kekang kudanya, dan kuda yang
tegar itu pun berputar. Sesaat kemudian kuda itu telah menghambur meninggalkan
halaman yang luas dan sejuk itu. Ketika Kuda Sempana telah hilang di balik
pagar, bertanyalah cantrik itu kepada Mahisa Agni, “Bukankah anak muda itu
Angger Kuda Sempana?”
“Ya,” jawab Agni sambil
mengangguk-angguk kepalanya.
“Tetapi,” cantrik itu meneruskan,
“bukankah anak muda itu kawan Angger Agni bermain-main seperti Angger
Wiraprana?”
Agni mengangguk. Ditatapnya sisa-sisa
debu yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang mengagumkan itu. Jawabnya,
“Begitulah.”
selanjutnya
selanjutnya
http://beritamurnivip99.blogspot.com/2017/11/kulkas-dan-freezer-berbau-lakukan-hal.html
BalasHapushttp://beritamurnivip99.blogspot.com/2017/11/ketagihan-manisnya-kopi-instan-berujung.html
http://beritamurnivip99.blogspot.com/2017/11/kentut-akan-dijadikan-terapi.html
http://beritamurnivip99.blogspot.com/2017/11/wanita-as-tewa-usai-jalani-proses-sedot.html
Tunggu Apa Lagi Guyss..
Let's Join With Us At Dominovip.com ^^
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami :
- BBM : D8809B07 / 2B8EC0D2
- Skype : Vip_Domino
- WHATSAPP : +62813-2938-6562
- LINE : DOMINO1945.COM
- No Hp : +855-8173-4523