PELANGI DI LANGIT SINGASARI ( 4 )
Cantrik itu tidak bertanya lagi
ketika dilihatnya sorot mata Agni yang aneh. Agni pun kemudian tidak
berkata-kata pula. Diayunkan kakinya keluar halaman. Ia telah berjanji pergi ke
tanggul, Wiraprana menunggunya. Tanggul yang dimaksud Wiraprana adalah tanggul
sebuah bendungan dari sebuah sungai kecil yang membujur agak jauh dari desanya.
Dari sungai itulah sawah-sawahnya mendapat aliran air. Karena itu, baik Agni
maupun Wiraprana sering benar pergi ke tanggul itu. Bahkan bukan saja anak-anak
muda namun gadis-gadis pun selalu pergi ke sungai itu untuk mencuci
pakaian-pakaian mereka dan mandi di belumbang kecil di bawah bendungan.
Wiraprana yang sudah sampai di
pinggir kali, duduk dengan enaknya di atas sebuah batu padas yang menjorok agak
tinggi. Wiraprana meredupkan matanya ketika ia melihat seekor kuda berlari
kencang ke arahnya. Segera ia mengenal bahwa di atas punggung kuda itu duduk
Kuda Sempana. Ketika Wiraprana
melayangkan pandangannya ke belumbang kecil di bawah bendungan itu, dilihatnya
beberapa orang gadis sedang mencuci. Satu di antara mereka
adalah gadis yang dikenalnya dengan baik, sebaik ia mengenal Mahisa Agni. Gadis
yang namanya selalu disebut oleh hampir setiap pemuda di kaki Gunung Kawi itu.
Gadis itu adalah Ken Dedes.
Wiraprana menarik nafas. Tetapi kemudian
ia dikejutkan oleh derap kaki kuda di sampingnya. Sekali lagi ia berkisar ke
balik batu itu. Ia benar-benar tidak mau bertemu lagi dengan Kuda Sempana setelah
hatinya dikecewakan dua hari yang lampau. Ia menahan nafas ketika ia melihat
Sempana berjalan hanya beberapa langkah di mukanya, kemudian membelok ke kanan,
menuruni tebing sungai.
Beberapa orang gadis yang melihat
kedatangan anak muda itu menjadi heran. Mereka telah biasa melihat Wiraprana,
Mahisa Agni, dan anak-anak muda dari desa mereka berada di atas tanggul bendungan
itu. Namun anak muda dengan pakaian yang sedemikian lengkapnya adalah jarang
mereka lihat. Tetapi ketika anak muda itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba
terdengarlah hampir bersamaan dari mulut gadis-gadis itu sebuah sapa yang
riang, “Kuda Sempana!”
Tetapi sapa itu sama sekali tak
berbekas di wajah Kuda Sempana yang seakan-akan telah membeku. Meskipun
kemudian gadis-gadis itu menjadi riuh, namun Sempana sama sekali tak
terpengaruh olehnya, sehingga akhirnya gadis-gadis itu pun menjadi heran dan
berhenti dengan sendirinya. Tetapi di antara mereka, tampaklah Ken Dedes
menjadi pucat.
Ia melihat kedatangan Kuda Sempana
seperti melihat hantu. Untunglah tak seorang pun dari kawan-kawannya memperhatikannya.
Kuda Sempana kemudian berdiri tegak
di tepi belumbang kecil itu “Ken Dedes,” kemudian terdengar kata-kata itu
meluncur dari mulutnya. Oleh kata-kata Sempana itu maka gadis-gadis itu pun
seperti terpikat oleh sebuah pesona, bersama-sama menoleh ke arah Ken Dedes
yang kemudian menundukkan wajahnya. Ken Dedes sama sekali tidak menjawab sapa
itu. Ketika sekali lagi ia mendengar anak muda itu memanggilnya maka
ditundukkannya wajahnya semakin dalam.
“Ken Dedes,” berkata Sempana
kemudian, “aku tidak banyak mempunyai waktu. Tinggalkan cucianmu sebentar. Ada
sesuatu yang akan aku katakan kepadamu.”
Mereka memuji ketampanan Kuda Sempana
namun mereka berteka-teki pula, mengapa Kuda Sempana menemui seorang gadis di
pemandian.
Sudah tidak adakah waktu yang lain?
“Aku telah datang ke rumahmu, Ken
Dedes,” Kuda Sempana meneruskan, “Tetapi kau tak ada. Karena itu aku terpaksa menyusulmu.”
“Kakang Sempana,” akhirnya Ken Dedes
terpaksa menjawabnya, “Tunggulah aku di rumah. Aku akan dapat membicarakannya dengan
ayah dan Kakang Agni.”
“Marilah kita pulang bersama-sama,”
ajak Sempana.
“Aku belum mandi,” bantah Ken Dedes, “dan
cucianku belum selesai. Bukankah hari masih terlampau pagi?”
“Besok aku harus kembali ke Tumapel,”
sahut Kuda Sempana, “siang nanti aku akan berkemas. Seandainya kau bersedia…”
Ken Dedes menjadi semakin gemetar. Ia
tidak tahu apa yang akan dilakukan. Tetapi pasti bahwa ia tak dapat memenuhi permintaan
Kuda Sempana. Karena Ken Dedes tidak segera menjawab, Sempana mendesaknya, “Ken
Dedes, berpakaianlah!”
Nafas Ken Dedes menjadi sesak.
Apalagi ketika didengarnya Kuda Sempana meneruskan, “Bukankah tidak baik
apabila aku menyatakan maksudku di sini?”
Mulut Ken Dedes telah benar-benar
seperti membeku. Adalah suatu aib yang mencoreng di wajahnya apabila kemudian
Sempana tak dapat menahan hatinya dan melamarnya langsung tidak setahu ayahnya.
Meskipun ia dapat menolak tetapi sikap yang demikian dari seorang pemuda adalah
sikap yang tercela. Maka merataplah Ken Dedes di dalam hatinya, “Apakah aku ini
termasuk dalam lingkaran gadis-gadis yang demikian sehingga Sempana
memperlakukan aku begini?” Tetapi Sempana, pelayan dalam Akuwu Tumapel itu,
benar-benar seperti orang mabuk. Katanya, “Ken Dedes, bukankah sejak aku pulang,
aku telah berkata kepadamu bahwa suatu ketika aku akan datang ke rumahmu?
Seharusnya kau tahu akan maksudku itu. Karena itu sekarang marilah kita pulang.”
Ken Dedes masih saja menundukkan wajahnya.
Karena itu kemudian Kuda Sempana menjadi tidak sabar lagi. Dada Ken Dedes pun
menjadi semakin sesak. Hatinya menjadi tegang. Dalam kebingungan itu, tiba-tiba
didengarnya sebuah suara yang lain dari suara Kuda Sempana. Tidak terlalu keras
namun kata demi kata dapat didengarnya dengan baik. Katanya, “Kuda Sempana, adakah
kau akan ikut serta mencuci pakaianmu di belumbang ini?”
Kuda Sempana terkejut. Ketika ia
menoleh, dilihatnya Wiraprana berjalan perlahan-lahan ke arahnya. Karena itu
wajah Sempana segera menjadi merah. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya menghadap
Wiraprana. Dan dengan suara lantang ia berkata, “Apa kerjamu di sini?”
“Menunggui tanggul,” jawab Wiraprana
singkat.
Kuda Sempana menggeram. Ia
benar-benar menjadi marah. Katanya, “Kau mencoba mencampuri urusanku?”
Wiraprana mengerutkan keningnya, “Apa
yang aku campuri? Setiap hari aku berada di tempat ini. Mengail, membuka parit,
mencuci pakaian, dan segala macam pekerjaan anak desa. Kaulah yang aneh.
Seorang pelayan dalam Tumapel berada di bendungan.”
“Tutup mulutmu!” bentak Sempana.
Gadis-gadis yang melihat peristiwa
itu menjadi ketakutan pula. Tubuh mereka bergetaran dan dada mereka menjadi
sesak. Apalagi Ken Dedes sendiri. Meskipun ia merasa bersyukur pula atas kehadiran
Wiraprana
namun agaknya Kuda Sempana memandang
kehadiran Wiraprana
sebagai tantangan. Kuda Sempana tidak
menjadi malu atau segan,
bahkan ia bersikap sebagai lawan. Pada
saat Wiraprana berada di balik batu padas, dilihatnya sikap Kuda Sempana yang
kurang wajar. Karena itu perlahan-lahan ia merunduk di balik-balik batu
mendekatinya. Meskipun ia tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi namun adalah
pasti baginya bahwa
Ken Dedes berada dalam kesulitan.
Maka sikap Sempana itu adalah merupakan penjelasan baginya. Anak muda yang
sombong itu benar-benar telah berbuat suatu kesalahan. Karena itu jawabnya tatag,
“Kuda Sempana. Jangan terlalu kasar. Bukankah dahulu kau setiap hari juga
berada di bendungan ini. Bahkan malam hari pun kau kadang-kadang tidur di atas
pasir di tepian itu bersama-sama aku? Marilah kita bersikap wajar. Juga
terhadap gadis-gadis, kau sebaiknya bersikap wajar.”
“Jangan gurui aku anak desa yang
sombong. Selama hidupmu kau dikungkung oleh kepicikan akal dan kesempitan pengetahuan,”
jawab Sempana, “Aku telah mencoba berlaku sopan kepada Ken Dedes. Aku hanya
ingin persoalanku cepat selesai.”
“Soalmu dan Ken Dedes benar-benar
bukan urusanku,” sahut Wiraprana, “Kalau kalian berdua telah bersepakat maka
adalah suatu dosa bagiku apabila aku datang kepadamu sekarang. Tetapi aku
melihat sikap Ken Dedes lain dari sikap yang kau harapkan. Dan kau terlalu
bersikap garang kepadanya.”
“Wiraprana!” bentak Kuda Sempana, “sekali
lagi aku peringatkan, tinggalkan tempat ini!”
“Jangan bersikap demikian, Sempana,”
jawab Wiraprana, “Jangan bersikap seperti orang hendak berkelahi. Aku bukan
orang yang biasa berbuat demikian. Namun aku hanya ingin memperingatkan
kepadamu. Pulanglah. Pergilah kepada ayahnya dan biarlah ayahnya bertanya
kepadanya, apakah ia bersedia menerima kehadiranmu di dalam perjalanan
hidupnya.”
Kuda Sempana yang sombong itu tidak
mau lagi mendengar kata-kata Wiraprana. Tangan kanannya terayun menampar mulut
Wiraprana. Gerak
Sempana cepat seperti kilat sehingga
Wiraprana tak sempat mengelak. Wiraprana
terkejut. Ia terdorong beberapa langkah ke samping. Tetapi untunglah bahwa ia
tidak terbanting ke air.
“Sempana,” katanya sambil berdesis
menahan sakit, “jangan terlalu kasar.”
“Diam!” bentak Kuda Sempana, “Tinggalkan
tempat ini!”
“Kau telah melanggar kebiasaan
kampung halaman kita, Sempana,” berkata Wiraprana lantang, “adat itu tetap kita
hormati.”
Sekali lagi Kuda Sempana tidak dapat
mengendalikan dirinya. Tangannya terayun kembali ke wajah Wiraprana. Namun,
kali ini Wiraprana tidak mau dikenai untuk kedua kalinya. Karena itu cepatcepat
ia membungkukkan badannya. Tangan Kuda Sempana hanya sejari terbang di atas
kepalanya. Tetapi Sempana adalah pelayan dalam istana sehingga, ketika dirasa
tangannya tak menyentuh tubuh Wiraprana, segera ia mengulangi serangannya.
Geraknya benarbenar tak diduga oleh Wiraprana. Sekali lagi Wiraprana terdorong
ke samping dan sekali lagi ia berdesis menahan sakit.
Ketika Wiraprana telah tegak kembali,
terdengarlah giginya gemeretak dan matanya memancarkan sinar kemarahan. Bagaimanapun
juga Wiraprana adalah laki-laki juga seperti Kuda Sempana. Karena itu katanya
lantang, “Kuda Sempana. Jangan membusungkan dada hanya karena kau telah
mendapat kedudukan baik di samping Akuwu Tunggul Ametung. Persoalanmu adalah
persoalan adat kampung halaman.”
“Apa pedulimu!” bentak Kuda Sempana, “Kalau
aku tidak dapat menemui ayah gadis yang aku senangi, aku masih mempunyai cara lain.
Aku akan melarikannya. Kelak aku akan kembali dengan seorang cucu yang manis
bagi Empu Purwa. Dan ia harus menerima kedatangan kami.”
Wajah Wiraprana menjadi merah padam.
Katanya kepada KenDedes, “Adakah kau telah bersepakat untuk kawin lari?”
“Tidak! Tidak!” teriak Ken Dedes
serta-merta.
“Hem,” geram Wiraprana kepada Kuda
Sempana, “kalau kau telah bersepakat, aku tak dapat menghalangimu. Tetapi kalau
tidak, dan kau akan memaksakan cara itu, aku akan mencegahmu.”
Kuda Sempana tertawa dengan
sombongnya. Katanya, “Bagus. Seseorang dibenarkan untuk melakukan pencegahan.
Tetapi tatacara itu pun menuntut pengorbanan bagi gadis yang diidamkan . Nyawaku
menjadi taruhan.”
Wiraprana mengangkat alisnya. Ia
ngeri mendengar kata-kata Kuda Sempana. Mengorbankan nyawa berarti kematian.
Dan ia ngeri memikirkan kematian. Tetapi ia harus mencegahnya. Karena itu
katanya, “Aku tidak menghendaki bencana apa pun. Baik bagimu maupun bagiku.
Tetapi aku hanya akan mencegahmu.”
Kuda Sempana tidak sabar lagi. Dengan
berteriak nyaring, ia meloncat menyerang Wiraprana. Tetapi kali ini Wiraprana berhasil
mengelakkan serangan Kuda Sempana. Tetapi Kuda Sempana tidak puas dengan
serangannya yang gagal. Wiraprana yang bertubuh tinggi tegap itu cukup mempunyai
kekuatan namun Kuda Sempana, yang tidak sebesar Wiraprana, mempunyai kelincahan
yang mengagumkan.
Gadis-gadis yang melihat perkelahian itu
menjadi semakin ketakutan. Ken Dedes sendiri, seperti orang yang kehilangan
kesadarannya, duduk di atas pasir di tepi belumbang. Ia takut melihat
perkelahian itu namun ia terpaksa untuk melihatnya. Perkelahian yang demikian
benar-benar jarang terjadi di Panawijen yang tenteram. Namun tiba-tiba mereka
harus melihat sebuah perkelahian yang mengerikan.
Kuda Sempana benar-benar memiliki kelincahan
dan ketangkasan. Sebagai seorang abdi yang dipercaya, Sempana mempunyai i ilmu
tata berkelahi yang baik. Sedangkan Wiraprana, meskipun dari ayahnya, Buyut
Panawijen, telah pernah dipelajarinya ilmu itu namun anak muda itu sama sekali
tidak menekuninya. Karena itu, sesaat kemudian, terasa bahwa Wiraprana yang tinggi
tegap itu tak akan dapat mengimbangi kelincahan dan ketangkasan lawannya. Untunglah
bahwa pekerjaan-pekerjaan berat yang selalu dilakukan dapat menolongnya.
Tubuhnya menjadi kuat dan untuk beberapa lama ia dapat menahan sakit yang
menjalar hampir di setiap bagian tubuhnya.. Tetapi betapa kuat tubuh Wiraprana,
akhirnya terasa juga semakin lama semakin menjadi lemah. Namun Wiraprana tak
mau melepaskan lawannya.
Tetapi terasa pula oleh Wiraprana bahwa akhirnya ia
tak akan mampu berbuat apa-apa. Sesaat kemudian ia akan jatuh terjerembabKuda
Sempana masih berkelahi dengan penuh nafsu. Meskipun ia sadar bahwa Wiraprana
tak akan mampu menandinginya namun ia tetap berlaku kasar. Tangannya menjambak
bertubi-tubi, dan bahkan Kuda Sempana menjadi semakin marah karena Wiraprana tidak
segera jatuh. Karena itu, akhirnya ia berketetapan hati untuk menyelesaikan
perkelahian itu. Dengan kedua tangannya ia menghantam wajah Wiraprana
bertubi-tubi. Sekali wajah Wiraprana terangkat karena pukulan Kuda Sempana yang
tepat mengenai rahangnya namun sesaat kemudian kepalanya terkulai ke samping
oleh tangan lawannya yang lain.
Oleh keadaannya itu, hampir Wiraprana
menjadi putus asa. Ia merasa bahwa ia tak akan dapat berbuat banyak. Terbayang
di matanya kesudahan dari peristiwa itu. Panawijen akan berkabung. Anak Buyut
Panawijen terbunuh dan putri Pendeta Panawijen dilarikan orang. Ketika
Wiraprana hampir menyerahkan dirinya kepada nasib, lamat-lamat didengarnya Ken
Dedes memekik kecil. Gadis itu menjadi ngeri ketika dilihatnya darah mengalir
dari bibir dan hidung Wiraprana.
Namun bagi Wiraprana, pekik itu seakan-akan
telah menggugah kembali semangatnya. Tiba-tiba terpikir olehnya, kenapa gadis
itu tidak saja lari dan pulang ke rumah. Karena itu tiba-tiba, dengan tidak
menghiraukan keadaan dirinya, Wiraprana mendekap tubuh Kuda Sempana erat-erat.
Bersamaan dengan itu terdengar ia berkata parau, “Ken Dedes, tinggalkan tempat
ini. Cepat, sebelum aku kehabisan tenaga!”
Ken Dedes pun kemudian seperti orang
bangkit dari mimpi. Segera ia meloncat berdiri dan berlari meninggalkan
belumbang yang mengerikan itu. Sementara itu, Kuda Sempana menjadi marah bukan
kepalang. Meskipun dengan sekuat tenaga ia menghantam tengkuk, punggung, dan
kepala Wiraprana namun tangan itu seperti tangan yang telah melekat dengan
jaringan kulitnya sendiri. Sehingga, karena marah, jengkel bercampur baur, ia
pun berteriak, “Wiraprana, jangan gila. Kau tidak berkelahi seperti laki-laki.
Lepaskan dan marilah kita berhadapan secara jantan.”
Tetapi Wiraprana tak mendengar
kata-kata itu. Kuda Sempana mengempas-empaskan tubuhnya, menendang, memukul,
dan segala macam. Apalagi ketika dilihatnya Ken Dedes telah berlari memanjat
tebing. Tetapi tiba-tiba langkah Ken Dedes terhenti. Hampir saja ia melanggar
sesosok tubuh yang tiba-tiba saja muncul dengan tergesa-gesa. Terdengarlah
gadis itu memekik kecil tetapi kemudian terdengar ia berteriak nyaring, “Kakang
Mahisa Agni!”
Mahisa Agni berdiri tegak seperti
batu karang yang kokoh kuat di tepi lautan. Sesaat wajahnya menyapu
berkeliling, kemudian terhenti pada tubuh-tubuh yang sedang bergulat di bawah bendungan.
Dilihatnya Kuda Sempana dengan bengisnya menghujani tubuh Wiraprana yang
menjadi semakin lemas. Dan bahkan akhirnya dilihatnya pelukan Wiraprana
terlepas dan anak muda itu jatuh terkulai di atas pasir tepian.
Ketika tangan Wiraprana terlepas dari
tubuhnya, segera Kuda Sempana meloncat berlari. Ia tidak mau melepaskan Ken
Dedes lagi. Telah bulat hatinya untuk melarikan saja gadis itu. Kalau ia sempat
menangkap dan membawanya ke atas kudanya. Ia tak perlu pulang. Tetapi tiba-tiba
langkahnya terhenti ketika dilihatnya Ken Dedes berdiri rapat di belakang
seorang anak muda yang tegak seperti patung raksasa. Sebelum ia sempat berkata
sepatah kata pun, terdengar batu karang itu seperti menggeram, “Kuda Sempana.
Apakah yang telah kau lakukan?”
Mata Kuda Sempana seakan-akan menyala
karena kemarahannya. Mahisa Agni itu pun akan mencoba menghalanghalanginya. Maka
katanya, “Agni. Jangan bersikap seperti seorang perwira tamtama. Lihatlah
Wiraprana. Ia telah mencoba melawan kehendakku.”
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Kuda Sempana itu dahulu adalah kawannya bermain pula seperti
Wiraprana. Tetapi tiba-tiba ia menjadi muak melihat wajah yang sombong itu.
Maka katanya, “Kuda Sempana. Jangan kau mencoba memperkecil arti kami,
anak-anak Panawijen. Kau juga anak dari tanah ini. Kau mampu menjabat
pekerjaanmu sekarang. Demikian juga anak-anak yang lain. Kau telah menghina
kampung halamanmu sendiri.”
“Diam!” bentak Kuda Sempana.“Kalau
kau ingin mengalami nasibseperti Wiraprana, bilanglah.”
Selangkah demi selangkah Mahisa Agni
berjalan maju, menuruni Tebing. Kemarahan di dadanya telah menjalari kepalanya.
Ditatapnya wajahKuda Sempana seperti menatap wajah hantu. Tetapi yang berdiri
di hadapannya sekarang bukan hantu Karautan yang menakutkan setiap orang. Yang
ada di hadapannya tidak lebih dari Kuda Sempana. Tetapi Mahisa Agni tak pernah
merendahkan orang lain. Diamatinya setiap lekuk kulit anak yang sombong itu.
Pakaian yang mewah namun sudah kusut dan kotor karena perkelahiannya melawan
Wiraprana.
Kuda Sempana, yang telah mendapat
tempaan keprajuritan beberapa tahun di Istana Tumapel, itu pun tidak sabar
lagi. Tak ada sepatah kata pun lagi yang meluncur dari mulutnya. Yang
dilakukannya adalah langsung menyerang lawannya. Mahisa Agni telah bersiaga
sepenuhnya. Karena itu, dengan cepat ia mengelakkan diri. Sekali ia melingkar
dan dengan sapuan yang cepat, ia berhasil menyentuh lambung lawannya dengan tumitnya.
Kuda Sempana sama sekali tidak menduga bahwa Mahisa Agni mampu bergerak
sedemikian cepatnya. Karena itu, sentuhan itu telah memperingatkannya bahwa
Mahisa Agni mampu mengelak dan sekaligus menyerang dengan cepatnya sehingga ia
tidak seharusnya melayani Mahisa Agni seperti melayani Wiraprana yang tegap
tinggi itu.
Tetapi Kuda Sempana terlalu percaya
kepada dirinya. Karena itu, kembali ia membusungkan dadanya. Dengan penuh
keyakinan kepada diri sendiri, Kuda Sempana meloncat dan menyerang kembali
dengan garangnya. Namun Mahisa Agni menyambut serangan itu dengan tangkas.
Disadarinya bahwa lawannya kali ini telah memiliki bekal yang cukup bagi
kesombongannya. Karena itu Mahisa Agni sadar bahwa ia harus berhati-hati. Kuda
Sempana menyerang Agni seperti badai yang melandalanda.
Namun Mahisa Agni benar-benar seperti
gunung yang tegak tak tergoyahkan. Serangan-serangan Kuda Sempana, betapapun
cepat dan kerasnya, tak banyak dapat menyentuh kulit Mahisa Agni. Sama sekali
tak diduganya bahwa Mahisa Agni telah memiliki ilmu tata beladiri sedemikian
baiknya. Anak itu dikenalnya beberapa tahun yang lalu sebagai anak yang patuh kepada
gurunya, patuh melakukan ibadah, dan rajin bekerja di sawah ladang dan di rumah
gurunya. Tetapi sama sekali tak diketahuinya bahwa di balik dinding-dinding
batu yang memagari rumah Empu Purwa, Agni mendapat tempaan lahir dan batin. Ilmu
yang akan dapat menjadi penguat tubuh dan nyawanya. Tubuhnya yang harus melawan
setiap tantangan lahiriah dan nyawanya yang harus dipersiapkan untuk menghadap
Yang Maha Agung.
Komentar
Posting Komentar